Entah sejak kapan, kini banyak kata atau kalimat-kalimat yang kehilangan ‘nyawanya.’ Ia cuma tinggal kulit, tipis, licin, dan bisa ditempel di mana saja. Kata ikhlas dipakai ‘pedagang’ ayat-ayat agama, kata sabar dijual motivator-motivator di TV, kata healing dipajang di kafe-kafe hedon. Kalimat penyemangat yang mestinya jadi jembatan perasaan, kini berubah jadi pemanis papan iklan.
Setiap luka, setiap rontoknya harapan, seolah bisa diselamatkan hanya oleh satu-dua kalimat template yang dilontarkan begitu saja: “semangat ya,” “jangan lupa bahagia,” “semua akan indah pada waktunya,” atau “everything happens for a reason.” Kalimat-kalimat klise semacam ini seringkali meluncur deras tanpa memperhatikan keadaan psikologis si pencerita.
Dengan meluncurnya kalimat-kalimat itu kita seolah sudah meninggalkan jejak, seolah-olah sudah ada rasa kepedulian yang amat besar di sana. Padahal, kalau kita mau jujur, bukankah itu seringkali cuma bentuk lain dari ketidakhadiran? Bukankah itu kadang adalah bentuk lain dari kemalasan kita untuk saling mengerti dan memahami sesama yang sedang butuh bantuan, atau sekedar teman untuk mendengarkan?
Kalimat-Kalimat Obat Nyamuk
Kalimat-kalimat klise tanpa makna ini, bekerja selayaknya obat nyamuk bakar. Asapnya mengepul, seolah memberi perlindungan. Tapi ujung-ujungnya, kita malah batuk-batuk karena kepulan racun yang ternyata sama sekali tidak menyehatkan. Ketika seorang teman curhat kehilangan pekerjaan, tak jarang kita lalu membalas dengan kalimat “sabar, nanti juga ada rezeki di tempat lain.” Seseorang yang sedang patah hati, malah ditimpali “udah, move on aja, masih banyak ikan di laut.”
Bukannya mengobati, kalimat-kalimat itu justru diam-diam semakin membakar luka jadi abu. Kita lupa bahwa orang yang sedang terluka perasaannya tidak butuh teori-teori murahan. Ia kadangkala hanya butuh teman pelampiasan emosi negatifnya, ruang untuk didengarkan, dan kekuatan serta dukungan untuk membiarkannya bernanah dahulu sebelum kemudian luka itu kering dengan sendirinya.
Industri Kata-kata
Di era seperti sekarang ini, kalimat klise seperti itu tidak lagi menjadi milik manusia saja. Ia juga milik industri. Motivator membungkus kata “sabar” jadi tiket-tiket seminar. Influencer membundling kata “self love” ke dalam bentuk skincare-skincare mahal. Kafe-kafe menempel banyak kalimat-kalimat bertema “healing” di dinding-dinding muralnya, lengkap dengan font estetik berwarna pastel yang eye-catching.
Kalimat-kalimat penyemangat yang dulunya lahir dari pengalaman batin kini diubah jadi komoditas bisnis. kalimat-kalimat itu bukan lagi alat untuk saling memahami, tapi alat untuk menjual mimpi, produk, bahkan ilusi kebahagiaan.
Mungkin inilah alasan mengapa kita seringkali merasa jengah dengan kalimat-kalimat motivasi. Terlalu banyak kata-kata template itu yang dipakai sebagai topeng, bukan sebagai jendela.