Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Paradoks Waktu: Semakin Efisien, Semakin Tak Pernah Cukup

16 September 2025   13:14 Diperbarui: 16 September 2025   18:30 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tulisan Time Paradox di Papan Tulis (sumber foto: pribadi)

Waktu Sebagai Mata Uang Baru

Time is money. Kalimat itu diperkirakan dikatakan dan dipopulerkan oleh Benjamin Franklin saat terjadi revolusi industri di Amerika. Saat itu upah para pekerja masih dihitung berdasarkan banyaknya jam yang mereka habiskan untuk bekerja. Makin banyak jam lembur, makin banyak uang yang mereka akan bawa pulang.

Tujuan kalimat ini dilontarkan memang untuk menyadarkan betapa berharganya waktu para pekerja saat itu. Waktu akhirnya diperlakukan bukan lagi sebagai ruang hidup, melainkan modal yang harus diinvestasikan seefisien mungkin, untuk membawa keuntungan sebanyak mungkin.

Kini, di era digital, pepatah itu dimaknai semakin radikal. Aplikasi smartphone, iklan-iklan di baliho jalan raya, hingga startup-startup kini seringkali menjual dirinya dengan embel-embel jargon "hemat waktu" dan "efisiensi hidup."

Layanan pesan-antar makanan, transportasi online, bahkan aplikasi catatan produktivitas; semuanya seolah mempropagandakan bahwa hidup yang cepat, ringkas, dan efisien adalah hidup yang lebih baik.

Namun, hal yang jarang kita sadari bahwa ketika waktu menjadi 'mata uang', logikanya menjadi berubah. Siapa yang bisa memanfaatkan waktu lebih banyak akan dianggap lebih sukses, lebih unggul, lebih layak dipuji.

Sebaliknya, orang yang memilih hidup dengan ritme yang lambat, akan dengan cepat dicap malas, buang-buang waktu, atau kurang ambisius. Maka terjadilah seperti sekarang ini, orang-orang seolah tak kenal jam dan hari, hidup mereka hanya diisi dengan bekerja, bekerja dan bekerja.

Barangkali inilah cikal bakal perubahan mindset dalam kepala kita, bahwa yang kita cari saat ini bukan lagi sekadar ingin hidup nyaman, tapi ingin selaras dengan mitos modern "orang yang sibuk itu adalah orang yang sukses." Dan gilanya, hampir semua orang di dunia sekarang terobsesi menjadi sukses, dengan standar tidak masuk akal tadi. Tidakkah Anda merasa sistem yang seperti itu adalah sistem yang sakit dan merusak?

Obsesi pada Efisiensi dan Produktivitas

Coba bandingkan kehidupan sekarang dengan beberapa puluh tahun ke belakang. Pada saat kita masih kecil dulu, atau pada saat kakek nenek kita masih muda dulu.

Waktu seolah hanya ditentukan oleh alam. Matahari terbit adalah tanda mulai bekerja, matahari terbenam adalah waktu untuk berhenti dan beristirahat. Musim hujan dan kemarau menentukan kapan harus menanam dan panen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun