Tanpa disadari, saat ini kita hidup dalam sebuah penjara tak kasat mata bernama waktu. Jam dinding berdetak, kalender berganti, lembar demi lembar, bahkan layar ponsel kita tak henti-hentinya mengingatkan kita hari apa dan jam berapa saat sekarang ini. Semua itu tampak sangat nyata, seakan-akan waktu adalah sebuah benda konkret yang berwujud, bisa disentuh, dipotong, ditambah, atau disimpan. Padahal, jika ditarik jauh ke belakang dari awal masa 'penciptaan' waktu (walaupun masih debat-able) waktu sebenarnya tak lebih hanyalah sebuah kesepakatan bersama. Sebuah ilusi kolektif yang kita rawat bersama-sama, sampai akhirnya perlahan-lahan ia menjadi tuan dan regulator atas hidup kita.
Coba bayangkan, seandainya manusia tidak pernah menemukan konsep jam dan tanggal, apakah Anda bisa tahu dan mengatakan dengan pasti hari apa dan jam berapa sekarang? Tidak akan ada istilah 12 siang, tidak ada yang namanya jam 7 pagi, tidak ada Senin sampai Minggu. Lantas apa yang tersisa? Ya, hanya siklus alam; matahari terbit, matahari terbenam, bulan purnama datang, musim panas dan hujan silih berganti. Itu saja, dan memang itulah yang jadi patokan baku nenek moyang kita sebelum ada jam dan tanggal dahulu, kan? Sampai akhirnya manusia 'merasa' sudah semakin cerdas, kemudian memberi nama-nama hari, memberi angka-angka untuk bilangan waktu, memberi garis pada sebuah kalender. Tiba-tiba saja hidup kita terasa lebih teratur, tapi sekaligus lebih terpenjara.
Sebuah Ilusi Bernama Detik
Konsep waktu adalah ciptaan manusia, pun istilah jam dan detik adalah ciptaan yang mengikutinya. Tidak ada yang namanya detik di konsep alam semesta. Alam hanya mengenal perputaran, siklus, dan kontinuitas. Tapi manusia mereka-reka, memotong-motongnya menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil: jam, menit, detik, bahkan waktu Planck. Kita lalu hidup seolah-olah detik itu nyata, bahkan jadi patokan sah atau tidaknya sesuatu.
Konyolnya, manusia bisa bertengkar hanya karena selisih beberapa detik. Bayangkan stadion sepak bola: gol di menit 90+3 bisa mengubah sejarah klub. Padahal kalau dipikir lagi, 'menit 90+3' itu hanya sebuah kesepakatan antara wasit dengan arloji di tangannya. Bukan tidak mungkin kan di luar sana ada orang yang bilang 'perasaan belum sampai 90 menit, deh'. Tapi di situlah letak kekuatan ilusi sebuah 'entitas' yang disebut waktu: ia bisa membuat kita percaya bahwa angka-angka di jam tangan lebih berharga daripada detak jantung kita sendiri.
Waktu dan Luka yang Menganga
Meski waktu itu hanya sebuah ilusi, tapi anehnya kita tetap bisa merasakannya. Inilah paradoks besarnya; sesuatu yang tidak nyata, nyatanya bisa menimbulkan rasa yang sangat nyata. Contohnya bisa kita lihat pada saat kita sedang menunggu kabar baik yang tak kunjung datang. Satu jam terasa seperti sehari. Kita juga pasti pernah tenggelam dalam sebuah percakapan yang menyenangkan dengan teman-teman atau keluarga kita, sampai-sampai tanpa kita sadari tiga jam berlalu tanpa terasa. Waktunya tidak nyata, tapi rasanya sangat bisa kita rasakan kemudian.
Di titik ini, waktu bukan sekadar angka-angka di jam atau kalender, tapi sebuah akumulasi pengalaman personal. Ada luka yang terasa makin dalam seiring berjalannya waktu, ada pula luka yang perlahan menghilang bersamaan mengalirnya waktu. Tetapi benarkah waktu yang menyembuhkan? Atau sebenarnya kitalah yang perlahan belajar menerima, mengobati tanpa disadari, sementara tugas sang waktu ya hanya lewat begitu saja tanpa peduli akan perasaan kita?
Banyak orang menipu dirinya dan sekitarnya dengan berkata "Tenang saja, waktu akan menyembuhkan." Padahal, tidak. Waktu tidak menyembuhkan apa-apa. Yang membuat kita sembuh dari pengalaman traumatik yang penuh luka adalah bagaimana otak kita mampu mengendalikan perasaan kita dan kemudian perlahan-lahan berdamai dengan pengalaman menyakitkan, bagaimana kita mengurai rasa sakit yang berpotensi terjebak. Sedangkan waktu, ia hanya lewat begitu saja. Cepat, sunyi, dan dingin, sama dinginnya seperti angin yang berhembus tanpa peduli siapa yang sedang patah hati.
Cepat atau Lambat?
Waktu itu sendiri punya sifat yang aneh. Ada kalanya waktu terasa begitu cepat; kadangkala juga bisa terasa sangat lambat. Coba Anda ingat-ingat lagi, tahun 2020, dimana virus Covid menyebar itu adalah 5 tahun yang lalu. Tidak terasa, ya waktu 5 tahun begitu cepat berlalu (setidaknya dalam konteks ini adalah bagi saya). Sering juga saya merasakan ketika saya ingin berangkat ke sebuah tempat terasa sangat amat lama, tapi ketika pulang seolah waktu terasa cepat sekali di jalan.
Itulah bukti jika konsep waktu itu bisa terasa berbeda tergantung bagaimana kita mengalami dan menjalaninya. Itulah bukti lain bahwa waktu bukanlah realitas objektif, melainkan sebuah persepsi yang tercipta dari sekumpulan pengalaman subjektif. Kita tidak pernah benar-benar hidup di dalam waktu, tapi di dalam sebuah persepsi tentang waktu.
Kalender juga sering kali menjadi seorang 'tukang suruh' yang memegang cambuk di tangannya dan membuat kita mau tidak mau patuh padanya. Tanpa terasa tahun baru tiba, kita dipaksa untuk mengevaluasi atau menciptakan resolusi baru lagi. Padahal resolusi yang lau saja belum tentu selesai dijalankan. Kemudian tiba-tiba ulang tahun datang lagi, kita dipaksa untuk merasa semakin bertambah tua lagi satu tahun lagi. Manusia, tanpa sadar, telah menyerahkan kendali hidupnya kepada angka-angka di kalender. Seolah-olah kalau angka-angka itu berganti, maka kita pun otomatis harus berubah, dalam segala hal. Tanpa ampun, tanpa ada kata 'tunggu dulu'. Padahal, jika mau berefleksi lagi, seharusnya perubahan tidak pernah ditentukan oleh angka-angka tanggalan; perubahan seharusnya ditentukan oleh keputusan-keputusan yang matang.
Waktu yang Tercuri
Di antara semua ilusi tentang waktu, ada satu hal yang terasa sangat nyata: waktu yang tercuri. Kita seringkali merasa waktu kita dicuri oleh orang lain, seperti atasan yang yapping tanpa arah ketika rapat, birokrasi yang berantakan, atau bahkan algoritma media sosial yang memaksa kita terus menggulir layar berjam-jam.
Kita pasti marah ketika dompet atau ponsel kita dicuri, tapi jarang marah (atau jarang bisa marah) ketika waktu kita diambil oleh hal-hal tidak penting tadi. Padahal, kita tahu, uang bisa dicari lagi, sementara waktu tidak. Ia terus jalan lurus ke depan, tanpa ada opsi kembali ke belakang. Pada akhirnya, mau diakui atau tidak, kita cenderung menjaga harta kita dengan ketat, tapi membiarkan waktu kita tercecer tidak jelas tanpa protes sedikit pun.
Hidup di Antara Ilusi-Ilusi
Jadi, apakah kita benar-benar punya 'waktu'? Atau jangan-jangan sebenarnya kita hanya punya momen yang kita rupakan dalam satuan detik, yang akan segera lewat begitu saja tanpa bisa diulang kembali?
Mungkin akan terasa lebih bijak jika kita berhenti membicarakan 'waktu' sebagai sebuah benda yang seolah punya wujud dan dapat kita rupakan kehadirannya. Akui saja, kita tidak pernah memiliki hal yang namanya 'waktu', kita sebenarnya hanya mengalami 'momen'. Detik ini, kalimat ini, tarikan napas ini, ia hanya sebuah momen. Kejadian yang hanya terjadi saat ini, sekarang. Begitu ia lewat, ia tidak pernah kembali lagi.
Hidup, kalau kita belah dan kupas sampai ke inti terkecilnya, sebenarnya hanyalah sekumpulan pengalaman sesaat yang kita beri nama 'waktu'. Dan sayangnya, semakin kita terjebak dalam ilusi waktu, semakin kita lupa untuk benar-benar hidup di dalamnya.
Penutup: Tentang Luka, Tentang Kita
Sebagaimana kita tidak bisa menghentikan laju dan dinginnya waktu, kita tidak bisa menghindari dari kenyataan semakin tubuh kita akan menua dan akhirnya di suatu momen (atau waktu) hidup kita juga akan pasti ada titik hentinya. Tapi selama masih hidup, kita bisa memilih bagaimana kita ingin menjalani kumpulan momen-momen itu. Kita bisa berhenti mengutuki lambatnya waktu ketika menunggu sesuatu, dan berhenti meratapi cepatnya waktu ketika kita sedang bahagia-bahagianya sampai lupa segalanya.
Karena sejatinya, cepat atau lambat hanyalah ukuran dalam pikiran kita. Bukan sebuah ukuran baku dari alam semesta. Yang nyata adalah perasaan yang kita rawati di dalam momen-momen itu. Mungkin, pada akhirnya, hidup ini bukan lagi soal berapa lama kita diberi waktu, tapi seberapa dalam kita berani hidup sepenuhnya di setiap momennya.
"Waktu bukan satuan angka-angka di kalender dan jam. Ia lebih kepada momen-momen yang terus terjadi tanpa opsi untuk diputar kembali. Rasakan momennya, isi sebaik-baiknya, kenang selama-lamanya"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI