Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Author

Book, movie/series, and fiction enthusiast contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sang Dewa

3 Oktober 2022   15:25 Diperbarui: 3 Oktober 2022   15:29 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bisa terbang tanpa sayap, berpijak tanpa kaki, juga membuat jatuh tanpa sentuh.
Anggap saja aku Dewa, bukan manusia yang selama ini selalu menyakitimu.

Tiga puluh menit lalu Dira masih di kamarnya. Tubuh ramping, mata bengkak, dan warna rambut merah menyala sebahunya terlihat sangat memprihatinkan. Memang berat menjadi dirinya. Hidup sendiri, korban kekerasan ayah kandungnya, diselingkuhi kekasih yang menjadi sandaran terakhirnya bisa bertahan hidup, sampai ditinggal mati oleh Siro, anjing peliharaannya yang sudah berusia 6 tahun.

Perlahan langkah kakinya membawa Dira ke balkon apartemen kamar. Kemilau senja semakin berwarna jingga menanti sang surya menenggelamkan dirinya ke ufuk Barat. Tapi bagi perempuan berusia 25 tahun itu, mungkin ini adalah senja terakhirnya yang bisa ia lihat di bumi.

Di tiang penyangga balkon, Dira mulai memanjatkan kakinya, melihat ke bawah dan membayangkan ia akan ditemukan tewas dengan berlumuran darah di sana.

"Jatuh dari lantai 7 belum tentu membuat nyawa kamu hilang," kata seorang pria yang tanpa disadarinya sudah ada di belakang.

"Kamu siapa? Kenapa bisa masuk ke sini?" tanya Dira sedikit takut mendapati orang asing berpakaian serba hitam bisa berada di kamarnya.

"Tidak penting siapa aku. Yang jelas hadirku di sini paling tidak untuk bisa mengurangi beban hidup kamu, Adira Renata."

Dira mencoba tak memedulikan laki-laki itu. Jika pun orang ini adalah penjahat yang akan merampok barang berharganya, itu tak akan mempengaruhi keputusannya mengakhiri hidup.

Maka Dira kembali memanjat tiang pembatas tadi, kemudian melompat dengan mata tertutup membayangkan dirinya akan langsung terbang ke surga. Namun konsepnya tidak semudah itu. Dira memang jatuh, tapi jatuh kembali tepat di kasurnya yang empuk. Tentu saja dia selamat tanpa luka setitik pun.

Di sampingnya masih ada laki-laki berpakaian serba hitam sedang duduk. Kemeja, jas, celana, dasi, semua yang dikenakan benar-benar berwarna hitam.

"Sudah kubilang percuma."

"Katakan siapa kamu sebenarnya?" tanya perempuan berambut merah ini sekali lagi sambil menyembunyikan rasa takutnya.

"Dewa. Kamu boleh panggil aku begitu."

***

Entah siapa sebenarnya laki-laki ini. Mengaku Dewa dan menganggap bisa membuat kehidupan Dira berubah. Mungkin ada benarnya juga, mengingat tempo hari lalu perempuan itu bertelportasi dari balkon apartemen ke tempat tidur kamarnya. Ditambah lagi Dewa tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ya, hanya Dira saja yang bisa melihat dan melakukan komunikasi dengannya.

"Aku belum mati, kan?" tanya Dira di taman apartemen ketika berjalan santai di pagi hari.

"Jelas belum. Kamu masih ada di bumi dan tetap hidup seperti orang kebanyakan. Sudahlah, sangat panjang ceritanya jika kamu ingin tahu siapa aku."

"Oke coba katakan apa saja yang bisa kamu lakukan."

"Aku bisa terbang tanpa sayap," jawab Dewa. "...berpijak tanpa kaki, juga membuat jatuh tanpa sentuh."

Terbang tanpa sayap. Itu hal pertama yang dibuktikan Dewa. Ia mengenggam erat tubuh Dira, kemudian sebuah dorongan pada kaki membuat keduanya melayang di udara. Tinggi, dan semakin tinggi. Dira sempat ketakutan melihat tempat tinggalnya yang semakin mengecil.

Perjalanan udara yang singkat itu membawa keduanya ke salah satu tempat penangkaran anjing liar yang dirawat oleh sepasang suami istri. Dira bertemu dengan mereka di halaman depan shelter tersebut. Tentu saja Dewa tak biusa dilihat di sini.

Mayoritas anjing yang dipelihara di sana adalah anjing terlantar yang ditemukan di jalan, atau ada juga anak anjing baru lahir yang tiba-tiba di simpan di depan penangkaran ini. Sang pemilik mengajak Dira berkeliling melihat puluhan anjing yang dengan semangatnya menggonggong ketika waktu makan tiba.

Lalu, satu anjing dewasa berwarna putih coklat mengingatkannya pada Siro yang telah mati sebulan lalu. Ia mengelusnya pelan, membiarkan anjing tanpa nama itu menjilati telapak tangannya.

"Kalau kamu mau adopsi anjing, bisa baca syarat dan ketentuannya di sini, ya," kata sang istri pemilik penangkaran menyerahkan beberapa lembar kertas. "Tapi kalau mau sekadar main, kamu bisa datang kapan saja."

Malamnya setelah bertemu anjing-anjing lucu di sana, Dira tak berhenti tersenyum di kamar apartemennya. Mulai dari makan, mandi, streaming film, sampai menjelang tidur sekali pun.

"Hidup ini terlalu berharga untuk kamu tinggalkan," kata Dewa pelan pada Dira yang terlelap.

***

"Sebenarnya kamu itu manusia atau bukan, sih?" tanya Dira penasaran saat keduanya sedang hang out di alun-alun kota.

Dewa yang saat itu masih mengenakan pakaian serba hitamnya tertawa pelan sebelum menjawab.

"Intinya anggap saja aku seorang Dewa, bukan manusia yang selama ini selalu menyakitimu."

Meski penampilan Dira yang colorfull berbanding terbalik dengan Dewa yang serba gelap, keduanya terlihat tanpak serasi seperti pasangan. Ya itupun kalau orang lain memang bisa melihat Dewa secara langsung.

Di tengah perjalanan mereka pada kerumunan manusia, tanpa sengaja Dira bertemu Revan, mantan pacarnya. Ia bersama seorang perempuan tinggi yang cukup cantik, atau lebih tepatnya bersama sang selingkuhan.

"Oh, jadi ini pacar kamu yang dulu itu?" tanya si perempuan tampak menyindir. "Rambutnya nyala kayak lampu. Norak banget. Orang kayak dia mana cocok untuk laki-laki seperti Revan."

Awalnya Dira bisa mulai pulih dari keterpurukannya. Tapi melihat orang yang jelas-jelas pernah mematahkan hatinya, membuat jiwanya lagi-lagi tak tenang. Ia menarik napas dalam, mengenggam erat kedua telapak tangan dengan harap bisa menghajar keduanya sekaligus.

Di belakang, tiba-tiba Dewa hadir dengan pakaian modis layaknya selebgram, bukan lagi serba hitam. Ia memegang banyak kantong belanjaan dari brand ternama. Mulai dari baju, sepatu, hingga tas yang harganya tentu tak murah.

"Sayang, maaf nungu. Biasalah, panggilan mendadak dari perusahaan. Masa minggu depan aku harus ke Singapura? Padahal kan kita mau jalan-jalan ke Lombok," kata Dewa yang tiba-tiba saja bisa terlihat oleh Revan dan pacarnya ini. "Ini siapa? Teman kamu? Kenalkan aku Dewa, pacar Dira."

Revan dan pacarnya saling berjabat tangan sesaat dengan Dewa, yang memberi pertanyaan besar kenapa seorang Dira bisa mendapat kekasih yang tajir seperti ini. Tapi kebingungan itu tidak ada apa-apanya dengan pertanyaan Dira yang masih terperangkap di kepala. Tapi setidaknya untuk saat ini dia mencoba masuk ke sandiwara ini.

"Ka-kalau gitu aku ikut aja ke Singapura, gimana? Kakak perempuan kamu juga tinggal di sana, kan?"

"Wah, itu ide bagus!"

Sandiwara selesai ketika Revan memilih pergi, meninggalkan Dira dan Dewa yang tertawa puas di sana. Dan tawa itu adalah sesuatu yang  telah lama hilang dari hidup perempuan berambut merah itu.

Entah siapa Dewa sebenarnya, ia tak peduli. Jika memang Tuhan mengirimkan Dewa sebagai obat hatinya, maka ia akan menerima dengan lapang dada.

***

Dewa berada di satu tempat terang serba putih, sangat kontras dengan pakaiannya yang gelap. Ia berjalan melewati lorong sampai memijakkan kaki di satu titik bersama orang-orang sepertinya. Memakai jas yang membalut kemeja dengan warna celana senada, namun bukan hitam. Ada yang ciri khasnya putih, biru, navy, merah, abu, dan masih banyak warna lainnya.

Orang yang berkumpul di sini mungkin sekitar 20-an. Semua yang memiliki warna berbeda itu sama-sama membawa amplop sebagai bentuk pertanggungjawaban tugasnya di bumi.

Yang pertama adalah perempuan rambut pendek dengan pakaian rapi serba biru. Dia berdiri pada di tangga khusus yang membuatnya lebih tinggi dibanding lainnya yang juga berdiri.

"Saya Dewa Cuaca, membuat iklim bumi bagian barat menjadi dingin lebih awal dari perkiraan. Sementara itu, di bagian timur sengaja saya buat menjadi musim panas. Laporan selesai."

Yang kedua, adalah pria dengan pakaian serba putih.

"Saya Dewa Awan, berhasil membuat kedamaian di Negara X Distrik B dengan menggagalkan aksi perang saudara. Target selanjutnya adalah Distrik L dari negara yang sama yang sepertinya sedang dilanda kericuhan. Laporan selesai."

Kali ini giliran Dewa yang seminggu ke belakang menemani Dira di bumi.

"Namanya Dira, gadis muda yang sangat rapuh hingga memutuskan bunuh diri. Tapi saya berhasil menganggalkannya dan membuat ia bisa bahagia seperti sebelumnya. Sekarang dia sudah tenang karena waktu hidupnya di bumi memang sudah selesai. Setidaknya ia bisa beristirahat tanpa dendam, bukan?"

Sebelum turun untuk diganti dengan Dewa lain, Dewa yang menemani Dira ini kembali bicara.

"Maaf lupa memperkenalkan diri. Saya Dewa Kematian. Salam kenal untuk kalian Dewa-Dewa baru di sini."

SANG DEWA - SELESAI 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun