Lalu, satu anjing dewasa berwarna putih coklat mengingatkannya pada Siro yang telah mati sebulan lalu. Ia mengelusnya pelan, membiarkan anjing tanpa nama itu menjilati telapak tangannya.
"Kalau kamu mau adopsi anjing, bisa baca syarat dan ketentuannya di sini, ya," kata sang istri pemilik penangkaran menyerahkan beberapa lembar kertas. "Tapi kalau mau sekadar main, kamu bisa datang kapan saja."
Malamnya setelah bertemu anjing-anjing lucu di sana, Dira tak berhenti tersenyum di kamar apartemennya. Mulai dari makan, mandi, streaming film, sampai menjelang tidur sekali pun.
"Hidup ini terlalu berharga untuk kamu tinggalkan," kata Dewa pelan pada Dira yang terlelap.
***
"Sebenarnya kamu itu manusia atau bukan, sih?" tanya Dira penasaran saat keduanya sedang hang out di alun-alun kota.
Dewa yang saat itu masih mengenakan pakaian serba hitamnya tertawa pelan sebelum menjawab.
"Intinya anggap saja aku seorang Dewa, bukan manusia yang selama ini selalu menyakitimu."
Meski penampilan Dira yang colorfull berbanding terbalik dengan Dewa yang serba gelap, keduanya terlihat tanpak serasi seperti pasangan. Ya itupun kalau orang lain memang bisa melihat Dewa secara langsung.
Di tengah perjalanan mereka pada kerumunan manusia, tanpa sengaja Dira bertemu Revan, mantan pacarnya. Ia bersama seorang perempuan tinggi yang cukup cantik, atau lebih tepatnya bersama sang selingkuhan.
"Oh, jadi ini pacar kamu yang dulu itu?" tanya si perempuan tampak menyindir. "Rambutnya nyala kayak lampu. Norak banget. Orang kayak dia mana cocok untuk laki-laki seperti Revan."