Dunia ini hanyalah pantulan, cerminan yang retak dari sesuatu yang lebih utuh. Ada yang menyebutnya takdir, ada yang menyebutnya kebenaran, tetapi itu hanyalah ilusi yang diulang-ulang dalam berbagai bentuk: dalam nyanyian angin di malam hari, dalam senyum orang asing di kafe, dalam kilauan lampu jalan yang memantul di aspal basah.
Di pagi-pagi yang kosong, langkah kaki menyusuri trotoar tanpa tujuan. Trotoar di bawah adalah larik-larik puisi tanpa rima, setiap langkah sebuah jeda, setiap napas adalah ruang kosong antara bait-bait yang belum dituliskan. Seorang lelaki tua duduk di bangku taman, wajahnya penuh garis seperti syair yang ditinggalkan waktu. Di tangannya, sebatang rokok hampir habis, abu jatuh seperti koma yang tak lagi punya kalimat untuk disambung.
Mungkin semua adalah fragmen dalam satu narasi besar. Seperti dalam tragedi Yunani, manusia meniru dan ditiru, membentuk ulang cerita yang sama dalam versi yang berbeda. Puisi epik dan tragedi, komedi dan nyanyian Dithyrambic: semua hanyalah cara lain untuk mengatakan bahwa tidak ada yang benar-benar baru. Pola yang sama terulang, hanya dengan wajah dan nama yang berbeda.
Baca Juga: Orang Pertama yang Bermimpi di Kota
Suara ibu dahulu sering mengulang dongeng tentang dunia wayang, tentang cinta yang berakhir di bawah bayangan kutukan. "Semua hanya peran," katanya, "dan kita, aktor yang lupa bahwa kita bermain."
Tetapi bagaimana jika ingin keluar dari panggung? Bagaimana jika ingin menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gema dari suara orang lain? Jalanan sepi, gedung-gedung bertingkat berdiri seperti soneta yang kehilangan metrum. Sebuah pencarian akan sesuatu yang nyata, tetapi di dunia ini, bahkan keheningan pun terasa seperti skenario yang telah dipersiapkan.
Seorang perempuan berdiri di bawah lampu merah, wajahnya kosong seperti halaman yang belum dituliskan. Mungkin dia juga sedang menunggu sesuatu: sebuah awal yang tidak pernah tiba, atau mungkin akhir yang sudah lama tertunda. Kata-kata terasa terlalu kasar untuk momen yang begitu halus. Jadi hanya dilewati, membiarkan bayangannya memudar seperti baris terakhir dalam puisi yang tidak selesai.
Baca Juga: Kota yang Menghapus Nama
Di dunia ini, manusia meniru dan ditiru. Makna dicari dalam pola, dalam ritme yang diulang tanpa sadar. Musik seruling, tarian yang mengikuti irama yang sama, tragedi yang dimainkan berulang kali dengan wajah yang berbeda. Apakah ini hanya sebuah baris dalam sajak yang ditulis oleh tangan yang tidak terlihat, atau masih ada pilihan untuk mengubah jalannya?
Malam mulai turun, dan lampu kota menyala satu per satu, seperti bintang yang jatuh dari langit dan terperangkap di bumi. Duduk di sebuah bangku, mendengarkan suara kehidupan yang berputar di sekeliling. Keinginan untuk menulis ada, tetapi kata-kata terasa terlalu kecil untuk menampung semua yang ada dalam pikiran.