Angin menyelinap di sela gedung tua,
menyentuh cahaya yang berkedip seperti mata
yang hampir tertidur di persimpangan Sudirman.
Di kamar kos sempit, aku bersandar di pintu mimpi,
memikirkan siapa orang pertama yang berani terlelap,
siapa yang pertama kali keluar dari tubuhnya
tanpa meninggalkan jejak di jalanan yang basah.
Mungkin ia seorang pria dari Braga,
duduk di bangku kayu, merokok tanpa suara,
menatap kopi yang berputar dalam cangkir
seperti kabut di atas Situ Gunung.
Mungkin ia menggumamkan sesuatu tanpa konsonan,
bahasa sebelum bahasa,
gumam yang hanya dipahami angin gang sempit,
angin yang membawa bau knalpot dan sate ayam.
Baca Juga: Kota yang Menghapus Nama
Atau mungkin ia seorang perempuan
di gang dekat Pasar Baru,
bersandar di tembok penuh poster konser
yang sudah diluntur hujan Bogor.
Ia menatap genangan air yang bergetar
oleh langkah-langkah pejalan kaki tanpa wajah,
dan di sana ia melihat dirinya sendiri
dalam dunia yang belum pernah ada.
Barangkali ia bermimpi tentang tangan
yang menyentuh makhluk yang belum mati,
sesuatu yang belum diburu, belum diinjak,
sesuatu yang bernapas dalam kesunyian:
seperti kucing liar di bawah jembatan Tebet,
seperti lagu tua yang lupa dimainkan
di radio warung kopi pinggir jalan.
Baca Juga: Pemanah Mawar
Dan pagi itu, saat orang-orang
berjalan menuju kantornya masing-masing,
ia menatap mereka seperti pengunjung museum,
bertanya-tanya bagaimana menjelaskan
bahwa ia telah pergi ke suatu tempat
tanpa pernah meninggalkan kamarnya.
Dan jika kau ada di sana, melihatnya,
di antara lampu jalan yang redup,
di antara hujan gerimis yang malas turun,
mungkin kaulah orang pertama
yang jatuh cinta pada kesepian orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI