Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Seorang Mbambung (Edisi Februari 2015 - Bagian I)

6 Desember 2021   07:21 Diperbarui: 6 Desember 2021   07:33 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh S K dari Pixabay

Tentang Sebuah Kematian

 

Aku seringkali memikirkan, kadang juga terbayangkan seperti merasakan sebuah kematian; kematian yang mencekam; didera oleh angan dan harapan, warna dari sebuah kehidupan yang 'kan pergi lalu menyisakan kesepian; juga kerinduan, bahkan mungkin kegelapan. Terang yang terasingkan akan 'lah tersingkapkan.

Sedari lahir kematian telah menjelang. Ia menjelma menjadi bayang-bayang, terus menapak bersama langkah yang tak dirasakan, hinggap dalam hidup yang ditawan dunia gemerlapan. Tapi, semakin kini semakin menjadi; keusangan tak tertandingi, kegersangan jiwa menodai.

Bunda telah rela berkorban, menahan rasa sakit yang menghantam. Resiko mati tidak dihiraukan demi sebuah kelahiran; awal yang begitu mendebarkan.

Bunda telah lama meninggal, dan aku masih saja tertinggal. Nafas pun tersengal-sengal, tak sanggup mengejar walau sepenggal. Hanya doa 'lah terpanjatkan.

Bundaku sungguh penyayang. Kematian di depan, tapi masih juga memperhatikan keadaan anaknya yang nakal; aku 'lah nian. Bundaku menyiapkan makan ketika sahur di bulan Ramadhan di tengah sakit yang ditahan, untukku seorang. Sakit itulah yang mengantarkan dia ke liang pembaringan. Dan aku masih saja merindukan. Aku menangis kesepian. Rumah seperti kuburan, ditinggalkan.

Semenjak itu rumah bukanlah kediaman. Rumah ini hanyalah simbol kesepian. Seperti mati yang hanya sendiri, tak 'kan ada yang menjadi teman.

Teman?

mereka juga silih berganti datang, menawarkan senyuman, memberikan secercah kebahagiaan. Tapi mereka juga pasti hilang, pelan sekali menghanyutkan. Mereka punya kehidupan, dunia yang terus diterjang. Dan mati tetap saja membayang, teruntukku kesunyian.

Masih adakah yang 'ku kejar, jika bapak tidak mengharapkan. Dialah orangnya yang melatihku berjalan mengarungi kehidupan, memperoleh kebahagiaan. Tapi aku juga tak 'kan tahan bila aku ditinggalkan. Bisa saja aku duluan. Kehampaan akan semakin menyedihkan.

Siapa yang tahu kuasa Tuhan?

Anak itu; Hanifah yang lucu. Dia adalah keponakanku, dan dia dipanggil lebih dulu. Ayahnya tetap tegar seperti karang di tengah laut biru, hempasan ombak hanya berlalu. Ibunya juga tetap kuat. Cintanya selalu merekat. Walau sempat sedih bertalu, syukur senantiasa tertuju. Teringat Tuhan bukanlah penipu, cobaan dihadapi seperti lugu. Mereka 'lah inspirasi hidupku.

mati 'ku hidup, 

hidup 'kan mati,

matiku 'kan hidup,

aku pikir semua terserah Dia

jantung berdegup

Dan aku akan tetap berusaha 'tuk peroleh bahagia bersama yang 'ku cinta.

(Trenggalek, 1 Februari 2015)

Di Antara Dua Cinta

memagari dua cinta

hendak bersua

adalah dosa

dan menambah derita.

risalah cinta akan salah tafsirnya.

nafsu membabi kasih yang buta.

sayang kehilangan nyawa.

tersiksa rindu kian merana.

bingkisan cacat tereksa

di dalam pelupuk mata,

sengsara.

mati hati dan tak berarti

terkendali benci dan iri

memuncaki.

prasangka menjiwai,

wajah-wajah diludahi,

birahi meninggi tidak tertutupi,

membakar api jiwa insani,

tak peduli.

(Trenggalek, 4 Februari 2015)

Satu Di Antara Tiga

Kuni,

ia hampir hilang dari cerita.

dulunya ia begitu manja,

tapi kini ia siap mengarungi hidup

dengan penuh makna.

ia jauh lebih dewasa.

ia pernah 'ku cinta,

salah satu di antara tiga.

dan seperti biasa,

hanya sebatas asa,

gelap tanpa cahaya.

(Trenggalek. 4 Februari 2015)

Tak Perlu Setia

(kisah para playboy)

maafkan tentangku

tak mampu menahan gejolak jiwa.

keindahan di mata sungguh merajalela.

dan engkau tertinggal jauh oleh mereka.

janganlah engkau kecewa,

bersedih gundah gulana.

aku biasa saja, setiaku untuk berjuta wanita,

merona menyajikan pesona,

menggoda hasrat untuk menaklukkannya,

karena aku seorang pria.

aku masih muda,

rupa menawan gagah perkasa.

kata-kataku manis seperti mantra

pemikat hati gadis-gadis yang terlena.

tak harus aku berlama-lama,

madu 'ku reguk, 'ku buang sisanya.

jika ada penggantinya.

inilah dunia

tanpa hati, tanpa rasa.

tidak perlu ada setia.

nikmatnya hanya sekejap saja.

(Trenggalek, 4 Februari 2015)

Realitas Tertinggi

segala rupa tergambarkan

dalam sebuah pancaran cahaya,

indah dan luar biasa.

pemandangannya nyata,

bisa diraba,

bisa dilihat oleh mata.

namun jiwa hanya bisa dirasa,

diungkapkan dengan kata-kata,

walaupun tidak sepenuhnya.

bahasa manusia ada batasnya.

alam semesta bersenandung.

namun pikiran manusia

kadang tersandung,

terbendung oleh mendung,

tersinggung arogansinya.

mengandalkan intelegensia,

memaksakan tidak percaya.

marilah,

ditunggu saja kebenarannya.

(Trenggalek, 4 Februari 2015)

Tidur Terbaring

masih senantiasa nyaman.

laba-laba berjejaringan, debu-debu jatuh

lalu beterbangan. sangat begitu konstan.

kecoa-kecoa berjejalan di sudut-sudut

sempit yang terdiam, tikus-tikus menyelinap

dengan rawan, bersembunyi dari cahaya,

mencari kegelapan.

semut-semut selalu berurut,

menerobos rintang yang berturut.

tokek-tokek bersuara tak patut,

menebar kebencian yang bertaut.

ular luwing adalah yang paling mbeling.

cicak di dinding berkali-kali menggunjing.

nyamuk-nyamuk tidaklah asing,

menggigit dengan suara beriring.

tawon-tawon pun tidak kalah bising,

kadang terhempas compang-camping

dihajar oleh orang sinting.

namun nyaman tidak pernah kering,

walaupun sampah-sampah membanjir.

air sumur tidaklah bening,

kapur-kapur kejam berplesir.

manusia hanya tidur terbaring,

dipandang selainnya dengan getir.

(Trenggalek, 4 Februari 2015)

Harmoni Bulu Kuduk Berdiri

angin malam sedang bernyanyi,

membelai dedaunan yang menanti,

menari bersama pohon-pohon yang melambai,

menciptakan suasana yang penuh seni,

begitu alami

tapi tidaklah damai.

kengerian mulai merajai.

hembusannya begitu kencang,

menerjang mengoyak hati.

guruh dan guntur sesekali menemani,

mempersembahkan:

harmoni bulu kuduk berdiri.

orkestra alam tengah menjadi,

menakutkan tapi bisa dinikmati.

nada-nadanya mengingatkan

pada jiwa-jiwa yang sedang berlari,

namun hanya bisa berhenti.

iramanya tiada pernah putus

walau hanya sekali,

begitu kuat menorehkan sepi.

liriknya adalah pada diri;

tentang manusia yang takut mati,

tentang alam yang tak pernah menyesali.

(Trenggalek, 4 Februari 2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun