Mohon tunggu...
Al Gifari
Al Gifari Mohon Tunggu... Lulusan Sarjana Hukum | Pernah nulis jurnal, artikel, sampai caption galau | Meneliti realita, menulis pakai hati (dan sedikit sarkasme)

Membawa keresahan lokal ke ruang publik. Menulis tentang lingkungan, budaya, dan realita sosial. Kalau tulisan saya bikin kamu nggak nyaman, mungkin karena kenyataannya emang begitu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Gen Z Terjebak Sibuk yang Bikin Capek Hati dan Pikiran

23 Agustus 2025   15:53 Diperbarui: 23 Agustus 2025   15:54 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toxic productivity (Sumber: Pinterest)

“Lagi sibuk” jadi salah satu kalimat yang paling sering diucapkan anak muda sekarang. Kayaknya, kalau kita nggak sibuk, hidup ini nggak sah. Ada yang sibuk kuliah sambil kerja part-time, ada yang sibuk ngejar target karier di usia muda, ada juga yang sibuk bikin konten biar eksis di media sosial. Semua orang kayak lagi lomba biar terlihat produktif. Tapi, pernah nggak sih kita mikir: sibuk ini beneran bikin hidup maju, atau malah bikin hati dan pikiran capek tanpa arah?

Fenomena “sibuk tapi kosong” ini lagi nempel banget sama anak muda, khususnya Gen Z. Kita tumbuh di era serba cepat, serba online, serba bisa dibandingkan. Scroll TikTok atau Instagram, kita langsung disuguhi konten orang yang udah sukses di usia 20-an, punya bisnis, jalan-jalan ke luar negeri, atau minimal sudah punya tabungan ratusan juta. Sementara kita, masih bingung ngerjain tugas kuliah atau cari cara biar gaji cukup sampai akhir bulan.

Akhirnya, banyak yang jadi terjebak dengan pola pikir: “Kalau nggak sibuk, berarti aku gagal.” Padahal, sibuk belum tentu produktif, dan produktif belum tentu sehat buat mental.

Coba kita tarik ke kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada mahasiswa yang setiap hari kelas dari pagi sampai sore, malamnya masih ambil freelance biar ada tambahan uang jajan. Weekend? Bukannya istirahat, malah dipakai buat ikut organisasi, bikin konten, atau acara komunitas. Dari luar kelihatan keren: “Wih, anaknya aktif banget, produktif!” Tapi kalau ditanya jujur, banyak yang merasa capek, gampang marah, bahkan kehilangan semangat hidup.

Hal yang sama juga dialami mereka yang udah kerja. Jam 9 sampai 5 kerja di kantor, tapi setelah itu masih lanjut side hustle entah jualan online, bikin konten, atau ikut kelas tambahan biar skill makin naik. Kalau nggak begitu, rasanya ketinggalan jauh dari teman-teman lain. Apalagi timeline media sosial nggak pernah berhenti ngasih perbandingan. Orang lain kelihatan lebih sukses, lebih kaya, lebih bahagia. Jadi, kita merasa harus terus gaspol biar nggak kalah.

Fenomena ini punya nama keren: toxic productivity. Intinya, kita terus-menerus merasa harus sibuk biar hidup dianggap berarti. Tapi justru sibuk yang kebablasan ini bikin kita kehabisan energi, kehilangan arah, dan akhirnya stres.

Sibuk yang sehat itu bikin kita berkembang, tapi sibuk yang toxic malah bikin kita ngerasa kosong. Kita kerja keras, tapi lupa nikmatin proses. Kita ngejar target, tapi lupa istirahat. Kita bikin banyak hal, tapi ujung-ujungnya kehilangan koneksi sama diri sendiri.

Coba perhatiin, berapa banyak anak muda yang sekarang gampang burnout. Rasanya setiap hari cuma ngikutin jadwal kayak robot: bangun pagi, kerja, kuliah, nugas, scroll sosmed, tidur, lalu ulangi lagi. Weekend yang harusnya istirahat, malah dipakai buat ngejar deadline lain. Hidup jadi kayak sirkuit tanpa jeda. Akibatnya, hati jadi gampang kosong, pikiran gampang kalut, bahkan tubuh ikut protes.

Yang bikin miris, kondisi ini sering dianggap wajar. Banyak yang bangga bisa bilang, “Aku kerja dari pagi sampai malam, nggak sempat main.” Padahal, kalau dipikir-pikir, itu tanda kalau hidup kita udah nggak seimbang.

Di titik ini, kita harus berani jujur sama diri sendiri: Apakah sibuk yang kita jalani sekarang benar-benar bikin bahagia? Atau cuma bikin kita terlihat keren di mata orang lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun