Tantangan dan Peluang ke Depan
Tantangan utamanya tentu ada pada keberlanjutan. Apakah tren ini hanya sesaat? Mungkin. Tapi jejaknya sudah ada. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana memberi wadah dan dukungan agar tren lokal bisa terus berkembang secara positif.
Misalnya, pemerintah bisa mengadakan program inkubasi konten kreator lokal berbasis budaya dan spiritualitas. Kampus bisa mengkaji lebih jauh hubungan antara ekspresi digital dan soft power. Komunitas bisa membuat dokumentasi tentang tren konten dari desa.
Aura Farming tidak perlu dilembagakan secara kaku, tapi bisa menjadi pintu masuk untuk menyadari bahwa "budaya digital" bukan hanya soal efek filter dan musik viral tapi juga soal nilai, kehadiran, dan kedalaman ekspresi.
Kita Tak Harus Berteriak untuk Didengar Dunia
Dalam era yang bising, mereka yang diam justru paling menarik perhatian. Aura Farming menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan budaya tidak selalu hadir dalam bentuk megah atau mewah, kadang ia hadir dalam ekspresi netral dan tatapan sunyi.
Anak-anak muda Indonesia kini tidak hanya menjadi konsumen budaya digital, tapi juga produsen makna dan simbol-simbol baru. Mereka sedang memainkan peran penting dalam menampilkan wajah Indonesia yang tidak bising, tapi dalam. Tidak keras, tapi berkesan.
Dan mungkin, dari kampung-kampung sunyi di pelosok negeri, kita akan melihat lahirnya diplomat digital paling kuat, bukan karena mereka bicara keras, tapi karena mereka hadir dengan aura.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI