Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Millenial Galau?

9 Februari 2019   09:05 Diperbarui: 9 Februari 2019   09:55 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: hrcubed.co.uk

"Dunia ini panggung sandiwara ... Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan ..."

Kurang lebih begitulah lirik lagu Panggung Sandiwara yang dipopulerkan Ahmad Albar tahun 1997. Lagu ini menyadarkan saya yang tengah galau, meski banyak orang mengatakan ini adalah kegalauan yang biasa diderita seseorang di usia 23.

IU (Lee Ji-eun), seorang penyanyi populer Korea, mewakili kegalauan itu dalam potongan lirik berjudul Twenty Three, jika diterjemahkan dalam bahasa inggris jadi seperti ini :

"I, yes, like now for sure. No, frankly speaking I wanna give up. Oh right I want to be in love. No I rather make money. I wanna be a child forever. No, I want to be a moist woman. Yes, I will live silently as death. No I will turn everything inside out. Try to guess!"

Lirik ini menjelaskan eksistensi IU yang tengah gamang menghadapi masa transisi dari seorang remaja menuju dewasa. Menerka-nerka semua peluang yang dapat ia raih kedepan, dengan segala pertimbangan risikonya, karena rata-rata di usia ini seseorang sudah mulai memahami sumber daya yang dimiliki.

Kegusaran saya sendiri datang manakala saya membaca tulisan-tulisan Rhenald Kasali, Robert Kiyosaki, atau Grant Cardone. Didukung pula teori Schumpeter tentang entrepreneurship atau kisah-kisah hebat startup dalam majalah GlobeAsia dan Marketing.


Terngiang dalam benak, bagaimana caranya jadi sukses dan berpengaruh? Apa jika tidak menjadi entrepreneur atau istilahnya sekarang startup, lantas tidak akan jadi orang sukses? Atau teguh pada posisi saat ini sebagai karyawan swasta, atau mencari pengalaman seru bekerja di startup, atau melanjutkan pendidikan, atau.., atau..., dan atau...?

Sebagai anak ekonomi, terang saya setuju jika perekonomian dan kemajuan peradaban sejatinya berasal dari para entrepreneur. Sejarah dapat membuktikan itu, pembahasannya bisa satu artikel sendiri. 

Merekalah para pemilik kapital dan aset, penggerak pasar, dan simbol kesuksesan masa kini. Lebih dari itu, sebenarnya anak-anak milenial membutuhkan tantangan, menjadi entrepreneur sendiri adalah tantangan.

Menurut sebuah survey, sudah jadi barang lumrah jika milenial berpindah-pindah perusahaan setiap dua tahun. Mereka tidak bisa berlama-lama di sebuah lingkungan, melakukan hal yang sama, dengan cara yang sama, bertemu orang-orang yang sama. Mereka butuh tantangan. 

Milenial lebih berani mengambil risiko meninggalkan perusahaan ketimbang menanggung risiko hidup tanpa tantangan. Sedikit banyak saya setuju, tapi tunggu dulu!

Orang bijak mengatakan buku membuka cakrawala dan membentuk seseorang jadi lebih bijaksana. Semakin banyak membaca buku, hati dan pikiran dibukakan pada banyak hal di dunia ini. Sudah tak relevan berpaku pada fixed mindset toh bumi ini bundar, kemungkinan apapun dapat terjadi. 

Sepantasnya kita open minded dan sebijaksana mungkin menilai sesuatu. Termasuk bijaksana mengelola emosi yang bergejolak di usia 20an. Inilah mengapa milenial sebaiknya banyak membaca buku, ketimbang membaca berita-berita hoax yang berseliweran di atas awan seluncur.

Kesuksesan itu relatif

Baru-baru ini saya mengunduh sebuah aplikasi mobile bertajuk Inspigo. Karya kreatif anak bangsa, media streaming percakapan-percakapan inspiratif dengan para tokoh inspiratif di Indonesia yang berasal dari berbagai kalangan profesi. 

Penggagas startup, selebriti, seniman, produser televisi, wartawan, jurnalis, psikolog, motivator, dll. Kesuksesan tidak ditanya dari seberapa banyak kekayaan yang kita miliki, tapi tergantung pada peran apa yang kita ambil, sekreatif apa kita mengelola peran itu, dan bagaimana peranan itu dapat menyebarkan pengaruh.

Saat SMA, saya sempat bergabung pada sebuah sanggar sastra. Dalam sebuah perhelatan teater, ada banyak pembagian peran. Setiap aktor harus memahami skenario besarnya, namun mereka dituntut untuk lebih menghayati skenario peran masing-masing. 

Setiap peran menampilkan dialog dan gestur berbeda-beda, sehingga pendekatan latihannya pun berbeda-beda. Sekali lagi yang terpenting, setiap aktor harus fokus melatih keterampilan dan menghayati peran masing-masing.

Dua kutipan ini menjelaskan bahwa fokus adalah kunci keberhasilan dan kebahagiaan sekaligus :

"Jika Anda mengejar dua layang-layang putus, Anda tidak akan mendapatkan keduanya." - Asti Musman

"Satu hal yang membuat banyak orang stres hingga depresi adalah karena manusia didoktrin dan diiming-imingi setiap hari agar memiliki banyak ambisi dan keinginan." - Boris Toka Pelawi

Saatnya menentukan peran

Saya mengelompokkan banyak peran menjadi lima peran saja.

1. Penggerak

Peran ini digeneralisasi sebagai eksekutif perusahaan, pemimpin organisasi, penggagas sebuah bisnis, atau wirausahawan.

2. Pengikut

Para penggerak membutuhkan pengikut-pengikut untuk mencapai tujuannya. Contoh dari pengikut adalah staf perusahaan, tapi bukan berarti selamanya staf perusahaan menjadi pengikut. Dengan proses pengembangan diri, leadership dan kreatifitas, di masa depan staf perusahaan dapat menjalankan peran sebagai penggerak.

3. Pengabdi

Penggerak dan pengikut rata-rata berorientasi pada profit, produktifitasnya dimaksudkan untuk mengejar kekayaan. Sedangkan seorang pengabdi tak selalu seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan diri pada social benefit. 

Misalnya pelayanan publik seperti pegawai negeri, perawat, dokter, tentara, polisi, atau sukarelawan. Pelayan umat seperti ulama, pendeta, dan biksu. Hingga pelayan keluarga, yakni ibu rumah tangga.

4. Pengajar

Sebesar apapun nama seseorang, pasti dibalik itu ada jasa para pengajar yang menyampaikan pembinaan dan pendidikan sepanjang perjalanan seseorang bertumbuh menjadi mapan. Pengajar seperti guru, dosen, coach atau trainer, memiliki peran istimewa dalam tatanan peradaban karena mereka membentuk karakter bangsa.

5. Pengamat

Ada orang-orang tertentu di dunia yang dianugerahi kepekaan mencermati masalah, perilaku-perilaku di sekitarnya, dan keterampilan mengolah data-data menjadi informasi, definisi, hipotesa, teori hingga penemuan-penemuan baru. Anugerah ini cenderung didapati seorang penulis, sastrawan, seniman, penjelajah, konsultan, ataupun ilmuwan.

Milenial galau karena punya banyak keinginan namun sumber daya terbatas, ya waktu, ya tenaga, ya materiil. Sehingga menelan bulat kenyataan bahwa seseorang sewajarnya menjalankan satu peran, tidak membuat dirinya puas, kemudian timbul ketidaksabaran. Kondisi ini juga dapat terjadi jika sejak awal milenial belum memahami konsekuensi dari peran yang dipilih.

Banyak curhatan teman yang baru diterima bekerja namun hari-harinya dipenuhi emosi menuntut kondisi ini dan itu. Padahal "kondisi ini dan itu" seyogyanya didapat jika ia menjalankan peran sebagai penggerak. Ia jadi lebih fokus pada ketidakpuasannya ketimbang fokus belajar dan bekerja sungguh-sungguh sebagai pengikut. 

Sederhana saja saya respon curhat kegalauan itu, "Baru diterima kerja, karyawan baru tidak bisa langsung diberi tanggung jawab seperti senior atau atasan. Tantangan akan datang semakin besar di kemudian hari, hanya perlu bersabar. Pakailah waktu yang tersisa untuk belajar dan bekerja sungguh-sungguh."

Untuk kasus seperti ini, bisa saja milenial menuangkan kritik dan gairah yang meluap-luap kedalam ide bisnis dan menjadi entrepreneur. Tapi pada akhirnya, kebanyakan dari mereka menyadari keterbatasan modal dan belum siap menghadapi risiko.

Sebagai alternatif, milenial bisa saja menjadi karyawan berjiwa entrepreneur, mencetuskan ide-ide segar dan membawa perubahan lebih baik di lingkungan kerja.

Berkembang atau mati

Satu level  di atas fokus adalah obsesif. "Be obsessed or be average!", begitulah Grant Cardone menyederhanakannya.

Tidak hanya fokus, tapi harus jadi obsesif. Orang-orang yang terobsesi akan menjadi gila belajar, haus akan pengalaman, mencoba menemukan masalah-masalah baru sehingga dapat membuat banyak formula solusi. Orang-orang obsesif akan tampak berbeda karena mereka evaluatif, kreatif, dan inovatif. Inilah nilai tambah dan modal untuk berkembang.

Dari mulai terobsesi mempelajari sejarah, teori, cara aplikasi, mencoba implementasi. Jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi. Merangkak ke level lebih lanjut, seterusnya dan seterusnya.

"When you are finished changing, you are finished." - Benjamin Franklin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun