Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pak Alit dan Kartu Kredit tanpa Limit

18 September 2018   19:43 Diperbarui: 18 September 2018   19:54 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Gatot Tri

Pak Alit adalah seorang pengusaha tajir dari kota Sampit. Ia punya kebun kelapa sawit dan cabe rawit, juga beberapa toko sepatu berbahan kulit yang mendatangkan keuntungan tidak sedikit. Sang istri, Bu Alit, punya kafe di salah satu mal dan beberapa depot makanan di pusat kota Sampit.

Rumah Pak Alit lumayan megah, berlokasi di daerah elit di pinggiran kota Sampit. Ia membelinya dengan cara kredit. Mobil yang ia pakai sehari-hari juga ia beli secara kredit. Hampir semua barang-barang di rumahnya dibeli secara kredit. Pembayaran cicilan bulanan kredit terbilang tidak sedikit. Tetapi bukan hal yang sulit bagi Pak Alit.

Pak Alit adalah pengguna setia kartu kredit. Begitu pula istrinya juga punya kartu kredit. Mereka sangat suka berbelanja barang-barang branded di seumlah pertokoan di kota Sampit dengan kartu kredit. Rumah mereka yang besar jadi makin sempit karena banyak sekali barang-barang yang dibeli secara kredit. Tagihan kartu kredit juga tidak sedikit. Tapi sekali lagi, bukan hal yang sulit bagi Pak Alit.

Tentang Bu Alit, ia adalah pasien langganan klinik dokter kulit. Bu Alit gemar merawat kulit. Beberapa minggu terakhir ia rajin konsultasi ke dokter kulit. Bu Alit punya masalah selulit. Sang dokter kulit menyarankan untuk terapi rutin kulit yang terkena selulit. Ibu Alit menyetujuinya. Semua perawatan kulit Bu Alit juga dibayar dengan kartu kredit.

Suatu hari yang panas berawan, ketika sedang berada di kantornya, Pak Alit menerima surat dari bank penerbit kartu kredit. Pihak bank menginformasikan bahwa Pak Alit terpilih menerima kartu kredit tanpa limit. Ini adalah kartu kredit yang khusus terbit bagi pemakai setia kartu kredit. Pak Alit tercatat sebagai nasabah kartu kredit dengan transaksi paling wahid.

Pak Alit senang bukan kepalang menerima kartu kredit tanpa limit. Ia segera menghubungi Bu Alit untuk segera membuat check list apa saja yang ingin dibeli dengan kartu kredit. Waktu itu Bu Alit sedang berada di klinik dokter kulit, sedang menjalani terapi menghilangkan selulit. Sambil ditangani therapist, terbayang di benak Bu Alit mobil idaman yang baru saja mengeluarkan versi facelift.

Hari demi hari berlalu, akhir pekan yang ditunggu pun tiba. Sayangnya, menjelang akhir pekan, Pak Alit mengalami konstipasi alias sembelit. Karena itu ia memakan cabe rawit yang kabarnya ampuh mengatasi sembelit. Bu Alit membeli banyak sekali cabe rawit. Stok cabe rawit ia selipkan di kulkas yang makin sempit; karena banyak sekali makanan dan minuman diletakkan di dalam kulkas secara berhimpit. Sampai-sampai ketika pintu kulkas dibuka terdengar suara berderit. 

"Beli kulkas baru yang lebih besar ya Pah. Lihat makanan dan minuman kita sudah sesak berhimpit." Kata Bu Alit kepada Pak Alit yang sedang mengunyah tempe goreng dengan cabe rawit. Pak Alit mengangguk-angguk kepalanya sambil mendengarkan berita di televisi tentang kebijakan beleid dari pemerintah yang baru dua hari terbit.

"Lalu ada lagi nih yang di-list, Papah baca sendiri." Kata Bu Alit seraya menyodorkan daftar impian Bu Alit dalam sebuah check list. Pak Alit mengambil kertas check list itu dan mulai mencoret beberapa.

"Akh... Papah pelit.. Masa mobil Mamah masih yang itu-itu aja. Ini pas ada yang facelift dan ready stock juga lho Pah.. Mumpung lagi ada kartu kredit tanpa limit, Pah.." kata Bu Alit  sambil berdiri menghampiri Pak Alit dan mulai memijat pundak Pak Alit. Eh, tidak lama Pak Alit mengiyakan permintaan Bu Alit. Bu Alit menjerit, membuat kaget si Kuprit, kucing peliharaan Bu Alit, hingga lari terbirit-birit.

Baiklah, mengawali akhir pekan, keluarga Pak Alit sudah berada di sebuah dealer mobil di pusat kota Sampit. Sebuah mobil idaman versi facelift akhirnya mereka tebus secara kredit dengan kartu kredit tanpa limit. Mobil akan siap segera setelah dokumen-dokumen kendaraan terbit. Betapa riang hati Bu Alit yang memekik jerit, menghujani ciuman sayang ke kedua pipi Pak Alit.

Tujuan berikutnya adalah mal di pusat kota Sampit. Anak tertua Pak Alit yang bernama Judith memilih ke toko buku memborong semua novel teenlit. Adit, anak kedua, ingin tablet canggih seperti kepunyaan Radit, teman sekolahnya.  Sementara Lilith, si bungsu hanya ingin membeli beberapa boneka Little Mermaid.

Di food court, mereka makan makanan lezat nan ajib. Pak Alit memesan soto ayam penuh kulit, sementara Bu Alit dan anak-anak memesan di booth makanan Bali, sate lilit. Bu Alit juga membeli beberapa kotak lapis legit untuk oleh-oleh tetangga terdekat: keluarga Maurits, keluarga David dan keluarga Bukit. 

Selama makan, mereka tidak saling berbicara. Pak Alit lahap memakan sate ayam penuh kulit sambil menatap layar gadget membaca berita seputar kota Sampit. Begitu pula Bu Alit yang sambil menikmati sate lilit juga sibuk dengan obrolan di WAG pasien sang dokter kulit.

Judith, juga sambil makan sate lilit, asyik dengan novel teenlit. Begitu pula dengan Adit yang juga sibuk tap-tap layar tablet yang tak terasa sudah melahap sepuluh tusuk sate lilit. Hanya Lilith yang tidak punya kegiatan sampingan selain memakan sate lilit. Hmm.. nampaknya sate lilit itu sungguh lezat...Ajiiiipp...

Selang beberapa hari berikutnya, Bu Alit dengan bangga memamerkan mobil idamannya versi facelift. "Jangan julid..." katanya pada teman-teman satu perkumpulan arisan ibu-ibu sosialita kota Sampit, yang sudah kasak kusuk: lagi-lagi barang kredit. Kebetulan mereka sedang arisan di sebuah resto fast food di pinggiran kota Sampit.

"Eh.. biar kredit tapi mobil ini so great.." begitu kata Bu Alit yang segera tancap gas menuju pusat kota Sampit.

Beberapa hari berikutnya lagi, di suatu pagi Minggu yang cerah dengan burung-burung yang bercuit, Pak Alit sedang berada di ruang keluarga di rumahnya memandang layar gadget. Ia mendadak terkesiap membaca tagihan bulanan kartu kredit yang masuk di inbox email Pak Alit. Segera ia berteriak memanggil Bu Alit yang sedang berada di dapur, sedang memasak soto ayam penuh kulit kesukaan Pak Alit.

"Mamah... tagihan kartu kredit kita selangit!! Sini, Mamah... Lihat sini tagihan kartu kredit kita... Minimal pembayaran sampai sembilan digit, Mamah..."

"Serius nih Papah? Tagihan kartu kredit yang mana, Papah?" tanya Bu Alit sambil berjalan menghampiri Pak Alit.

"Yang tanpa limit itu, Mamah... Mana pembayaran paling telat kurang seminggu lagi... Aduh Mamah... Papah telat cek inbox... Lho, aduh, aduh.. Kenapa nih, kenapa kepala Papah mendadak jadi sakit..." kata Pak Alit sambil memegang kedua pelipisnya.

"Tenang, tenang Papah... Tenang... Pasti ada cara membayar tagihan kartu kredit..." kata Bu Alit mencoba menenangkan Pak Alit.

"Sulit, Mamah.. kecuali... Kecuali kita berkelit.. " kata Pak Alit.

"Papah, jangan berkelit dengan kartu kredit!" kata Bu Alit dengan nada tinggi.

"Waduh Mamah, benar-benar sulit... Keuangan kita bakal morat-marit..." kata Pak Alit.

Tiba-tiba Pak Alit terhuyung-huyung. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Segalanya mulai nampak kabur.

"Mamah... Mamah... Papah rasanya... Rasanya mau pingsan...". Mendadak Pak Alit terkulai lemas dan badannya terjatuh di sofa ruang keluarga.

"Papah... Papah..." kata Bu Alit yang khawatir dengan kondisi Pak Alit. "Judith!! Adit!! Lilith!! Semuanya ke sini cepat... Papah sakit..." teriak Bu Alit.

Judith, Adit dan Lilith berlarian dari kamar mereka ke ruang keluarga. Mereka menjerit melihat ayah mereka yang telentang di sofa. Sakit. Judith yang membawa ponselnya cepat-cepat menghubungi rumah sakit.

Tidak lama, mobil ambulans pun tiba membawa Pak Alit ke rumah sakit. Bu Alit dan ketiga anak-anak juga ke rumah sakit mengendarai mobil bersama Pak David, tetangga depan rumah. Juga ada Bu David yang duduk di samping Bu Alit terus berupaya menenangkan Bu Alit.

"Semua ini gara-gara kartu kredit tanpa limit, Bu David.. Hu..Hu...Hu.." kata Bu Alit terisak.

"Sudah, sudahlah Bu Alit... Nanti saja kita pikirkan tentang kartu kredit. Sekarang Pak Alit lagi sakit... Sabar ya Bu Alit" kata Bu David yang dibalas dengan anggukan lemah Bu Alit.

Syukurlah kondisi Pak Alit membaik berkat pertolongan tim medis rumah sakit. Pak Alit sudah dipindahkan dari UGD ke rawat inap VIP. Mengetahui kondisi Pak Alit yang membaik, keluarga Pak David pun pamit. Bu Alit lalu mengurus pembayaran penanganan darurat Pak Alit sekaligus pembayaran deposit perawatan rumah sakit... lagi-lagi dengan kartu kredit, kartu kredit tanpa limit milik Pak Alit. Yah, bagaimana lagi.. begitu kata Bu Alit dalam hati.

Pagi berganti siang, siang pun berganti malam. Keluarga kecil Pak Alit memutuskan bermalam di rumah sakit. Bu Alit sudah menghubungi guru sekolah SD Lilith , guru SMP Adit dan guru SMA Judith untuk meminta ijin tidak masuk sekolah karena Pak Alit sedang sakit.

Sesaat setelah Bu Alit menelepon, datanglah seorang perawat wanita bersama seorang pria berusia dua puluhan tahun yang mengenakan baju batik. Sang perawat meninggalkan ruangan. Pria itu masih berdiri di sudut sana seraya mengeluarkan berkas dari tasnya yang sepertinya berbahan kulit.

"Selamat malam Ibu. Saya Majid. Apakah ini benar kamar Bapak Alit?" tanya sang pria sambil memegang selembar kertas putih.

"Iya benar Pak.. Saya istri Pak Alit. Bapak dari mana?" tanya Bu Alit seraya menghampiri pria itu, menyalaminya dan mempersilakan duduk di sofa. Anak-anak yang tadi di sofa lalu bangkit dan duduk di ranjang lain. Pak Alit masih memejamkan mata, nampak belum sadar dengan selang oksigen yang masih menempel di hidung.

"Mohon maaf saya datang di situasi yang sulit. Tetapi saya harus mengunjungi Pak Alit. Saya staf dari bank penerbit kartu kredit. Ini tentang kartu kredit tanpa limit yang diterima Pak Alit..."

Oh tidak.. Tiba-tiba terbersit segala hal-hal rumit yang bakal dihadapi Bu Alit. Banyak sekali barang-barang mereka terbeli dengan cara kredit. Selama ini mereka tidak pernah menunggak tagihan kartu kredit. Tiba-tiba datang kartu kredit tanpa limit yang membuat kalap belanja apa saja tanpa khawatir limit.

Wah, bisa-bisa aku ikut sakit..., begitu pikir Bu Alit. Tidak, tidak, aku harus kuat. Aku harus kuat. Demikian kata Bu Alit dalam hati menyemangati diri.

"Tentang ee.. tagihan kartu kredit itu.. Pak.. Kami merasa sulit karena Pak Alit sedang sakit... Tapi kami...ee.." kata Bu Alit terbata-bata sambil menatap langit-langit.

"Bu Alit.. Tenang Bu. Ijinkan saya menyampaikan sesuatu hal." kata Pak Majid.

Bu Alit berusaha tenang, tetapi kedatangan Pak Majid dari bank penerbit kartu kredit itu sepertinya membuat semangatnya tergerus sedikit demi sedikit.

"Bu Alit, kami telah mencatat daftar belanja Pak Alit yang menggunakan kartu kredit tanpa limit. Kami lihat di data kami Pak Alit membeli mobil minivan tipe facelift di dealer mobil Sampit. Begini, seharusnya pembelian mobil tidak bisa menggunakan kartu kredit tanpa limit."

"Dalam ketentuan kartu kredit tanpa limit, pembelanjaan senilai sembilan digit tidak masuk dalam produk kartu kredit tanpa limit. Tapi entah bagaimana ternyata ada sesuatu hal di sistem kartu kredit membuat transaksi pembelian mobil Pak Alit di dealer mobil Sampit terbaca succeed. Kami segera memproses pembatalan kredit tetapi semua sudah terlambat."

"Pak Alit pasti juga sudah menerima tagihan kartu kredit yang nilai tagihannya selangit. Bu Alit, karena kesalahan ada pada sistem bank kami selaku penerbit kartu kredit, juga kami melihat Pak Alit adalah pengguna setia kartu kredit, maka kami... Ehem... membebaskan semua tagihan dari kartu kredit tanpa limit." demikian pungkas Pak Majid.

Raut wajah Bu Alit yang tadinya cemas mendadak berubah. Bu Alit menjerit berlari menghampiri Pak Alit. Ketiga anak mereka terkejut dan menatap Bu Alit yang sedang memeluk Pak Alit. Pak Majid mohon pamit, meninggalkan selembar formulir untuk diisi oleh Bu Alit. Pak Majid juga bilang bahwa kartu kredit tanpa limit akan dinonaktifkan sehingga tidak lagi valid.

Pak Alit nampak membuka matanya yang mulanya nampak menyipit, kini terbuka sedikit demi sedikit. Bu Alit melepaskan pelukannya. Ia melihat senyum Bu Alit, senyum Judith, senyum Adit dan senyum Lilith... Ternyata Pak Alit sudah sadar selama lima menit dan sempat mendengarkan semua perkataan Pak Majid. Pak Alit tersenyum meringis menahan sakit.

"Ayo, Mah... kita belanja lagi pake kartu kredit..." kata Pak Alit

 "Papahhh......" kata Bu Alit setengah menjerit sambil mencubit lengan Pak Alit yang mengerang sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun