Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Pak Erte dan Tragedi Romlah

27 Agustus 2016   12:59 Diperbarui: 27 Agustus 2016   13:03 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sejak pagi para penghuni kontrakkan berkumpul di depan rumah Pak Erte. Ada yang duduk lesehan di teras rumah. Ada yang hanya melongokkan kepalanya di pintu, karena masih ngantuk.  Ada juga yang bergegas karena takut tidak kebagian tempat duduk yang sengaja disiapkan oleh Pak Erte.

Penghuni kontrakkan Pak Erte sendiri memiliki beragam profesi. Mulai dari pedagang asongan di terminal. Pemulung, karyawan pabrik. Pekerja konveksi sampai yang berprofesi sebagai pengacara. Alias pengangguran banyak acara.

Cuma si buluk aja yang saban hari kerjaannya mabok mulu. Mulai dari mabok anggur merahnya-meggi z, mabok Lem aibon, bahkan kalau udah sangking kerenya.

Si Buluk sampe bela-belain ngisepin bau kaos kakinya si Entong, yang nggak di cuci sebulan. Pokoknya, yang penting mabok. Hihihi....

Siapa saja boleh mengontrak di tempatnya Pak Erte.  Asal jangan pengedar Narkoba. Karena Pak Erte paling anti dengan barang haram tersebut.

Pernah sekali ada  pengedar narkoba yang mengontrak di tempatnya Pak Erte. Setelah berhasil ditangkap. Bandar Narkoba naas itu lalu dihukum.

Diikat seharian dipohon jambu yang banyak semut rangrangnya. Semua pakaian dilucuti. Hanya menyisakan segitiga pengaman, untuk melindungi perabotannya dari gerayangan semut yang mendiami pohon jambu tersebut. Kebayangkan gatelnya? Hihihi....

Tapi sejak saat itulah kampung Pak Erte bebas dari Narkoba. Karena tidak ada lagi warga yang berani nyoba jadi pengedar, apalagi bandar. Karena membayangkan hukumannya saja mereka sudah geli. Hiiiii...!

Sebenarnya ada maksud apa Pak Erte mengumpulkan semua penghuni kontrakkannya di depan rumahnya?

Mari kita simak pidato yang akan disampaikan oleh Pak Erte yang sudah ngapalin pidatonya sejak subuh tadi. Tapi sampe pagi, masih juga nggak hapal-hapal.

"Tes, te..sss...teee...ss.. satu,tu..tu..tuuuuh..." Suara Pak Erte terdengar menggema ke seantero kampung.

Echonya bahkan sampe masuk-masuk ke kandang ayam jago, yang terlihat masih melakukan mogok berkokok. Karena kalau berkokok, kepalanya langsung di keplak pakai gagang sapu. Pletooook!

Mendengar suara Pak Erte yang keluar dari microphone bergema, Buluk yang masih bawaan mabok langsung berlari lingkang pukang, maju tak gentar, jatuh bangun-kristina. Ke tempat sound system berada.

Pak Erte melirik ke arah Buluk yang sedang memutar-mutar alat persegi empat yang banyak tombolnya tersebut. Lalu mengacungkan jempolnya kepada Pak Erte  yang masih meliriknya.

"Tes, 1 2 3, tes..." Pak Erte sekali lagi mencoba alat pengeras suara tersebut. Suaranya sudah terdengar pulen. Tapi cuma beberapa detik saja. Karena tiba-tiba terdengar suara berdenging nyaring, dari pengeras suara. Ngiiiing....!

Diikuti suara meleduk, lalu asep mulai ngebul di sekitar sound system yang diutak-atik oleh si Buluk. Korslet! Agak sedikit kesal. Akhirnya Pak Erte melanjutkan pidatonya menggunakan corong minyak.

"Bapak dua, ibu dua, serta saudara dua kali, yang saya cintai" Pak Erte memulai pidatonya yang terdengar janggal.

Ternyata karena buru-buru, anaknya si Entong. Malah  menyingkat naskah pidatonya. Bapak-bapak, menjadi Bapak2. Ibu-ibu, menjadi Ibu2. Begitu seterusnya. Dan tulisan di kertas itulah yang dibaca Pak Erte sebagai teks pidatonya.Hihihi....

Tapi orang-orang hanya mendengarkan saja. Karena Pak Erte punya undang-undang yang sudah ditetapkan secara musyawarah tapi tidak mufakat. Bunyi Undang-undabg tersebut, sebagai berikut;

1. Erte tidak bisa disalahkan
2. Erte tidak pernah salah
3. Apabila Erte melakukan kesalahan, maka balik lagi ke point pertama.

Demikianlah bunyi undang-undang yang dimusyawarahkan, tapi tidak dimufakati tersebut. Karena terus dipaksa, serta merasa terpaksa. Akhirnya penghuni kontrakkan pasrah menerima undang-undang tersebut di sahkan.

"Uhuk...uhuk. Maaf!" Pak Erte  pura-pura batuk setelah menyadari kekeliruannya. Lalu melanjutkan kembali pidatonya.

"Bapak-bapak, Ibu-ibu, serta saudara-saudara sekalian. Hari ini gue mau nyampein pengumuman penting...." Suara Pak Erte memantul keluar dari corong yang dipakainya. "Apa pengumuman pentingnya..." Pak Erte sengaja menggantun kalimatnya, agar terdengar berwibawa.

Semua orang saling berpandangan. Ada juga yang Bisik-bisik tetangga- Umi Elvi. Tapi mereka hanya menunggu. Mesti sayup, terdengar juga suara berdengung. Persis suara nyamuk yang terbang di sekitar kuping.

"Tidak tahu Pak Erte!" Tiba-tiba ada yang nyeletuk.

Semua mata tertuju ke arah orang yang bicara barusan. Ternyata, Bang Toyib. Penghuni kontrakkan nomor tiga.

"Apanya yang tidak tahu" Tanya Pak Erte bingung.

"Barusan Pak Erte tanya, apa pengumuman pentingnya Terus saya jawab, tidak tahu Pak Erte! Begitukan?" Jawab Bang Toyib ikut bingung.

"Eh, Buluk. Itu bukan pertanyaan. Tapi seni pidato yang diajarin ame Babeh gue. Nah,  Babeh gue di ajarin oleh engkong gue. Terusnya pan, elu tau sendiri. Engkong gue diajarin langsung ame kompeni. Paham kaga, lu?"

Bang Toyib menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara warga lain mulai mengkeret. Karena urusannya bakalan runyem dan lama, kalau Pak Erte sudah bawa-bawa kompeni segala.

Mereka menyesali keberanian Bang Toyib. Padahal sudah tahu kalau Pak Erte Punya undang -undang yang berlaku bagi warga yang menghuni kontrakannya.

Jadi kalau ngomong nggak bakalan salah. Bang Toyib baru ngomong sekali, salahnya malah tujuh belas kali. Hihihi....

Pak Erte nerusin omelannya "Makanya, Bang Toyib tiap lebaran pulang. Jangan tiga kali lebaran, tiga kali puasa baru pulang!" Suara Pak Erte terdengar keras di corong minyak.

Karena Buluk belum berhasil juga memperbaiki sound sistem. Tapi malah bikin kusut kabel sound systemnya.

"Huuuu...!" Orang-orang ramai menyoraki Bang Toyib, karena disama-samain oleh Pak Erte dengan lagu dangdut.

Bang Toyib langsung duduk kembali di bangkunya. Berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan mata penghuni kontrakkan, yang masih terus menempelnya.

"Sudah! Sekarang pada dengerin. Kasian si entong yang udeh  bikin naskah pidato buat gue. Sampe bela-belain molor di meja belajarnya. Pake ngiler lagi" Kata Pak Erte sambil menunjukkan bekas noda, yang menyerupai pulau di kertas naskah pidatonya.

"Baiklah, langsung ke intinya aja. Buluk, tolong bawa Romlah kemari"Perintahnya pada Buluk,yang langsung lari lintang pukang, maju tak gentar, jatuh bangun- Kristina. Lalu membawa Romlah ke hadapan penghuni kontrakan lainnya.

Semua mata laki-laki yang berada di pekarangan rumah dan sekitarnya,  terkesima memandang. Nafas mereka mulai ngos-ngosan. Sementara hidung mereka terlihat kembang kempis.

Romlah terlihat sangat cantik, dengan balutan kain dan baju kebaya yang dikenakannya.  Betisnya terlihat....(Sensor). Pinggulnya yang...(sensor). Serta dadanya...(sensor).

(note: mohon maaf, berdasarkan keputusan Pak Erte. Bagian Betis, pinggul dan dada Romlah. Dengan sangat terpaksa di sensor. Karena tidak pantas untuk khalayak umum. Tapi layak untuk dilihat Pak Erte sendiri) Hihihi....

Pak Ertemau tidak mau mengikuti, pandangan mata semua lelaki yang melotot saat melihat Romlah. Janda bohay nan aduhai, primadona kontrakkan yang mulai mewek.

"Sekarang lu ceritain perkaranye. Biar semua pada tau" kata Pak Erte , sambil melirik ke arah belahan dada kebaya Romlah yang jebleh.

"Begini Pak Erte, waktu semalem aye mandi, ada yang ngintip. Terus selendang buat aye ngibing yang aye sampirin di pintu kamar mandi ilang. Hiks..hiks"Romlah menceritakan kronologis kejadiannya sambil meneteskan air mata.

"Tuh, pada dengerkan. Elu-elu pade kurang kerjaan emang. Pake ngintipin si demplon. Eh, Si Romlah mandi. Pake ngembat selendangnya lagi. Lu kata ini  cerita Jaka Tarub apa. Lagian elu juga sih. Pake acara mandi kembang Tengah Malemnya - Caca Handika segala" Pak Erte ngomelin warganya, juga Romlah.

"Huu..u..u..uu. Hiks..." Romlah semakin terisak.

Sementara warga penghuni kontrakan, ikut larut dalam suasana yang mulai mengharu biru. Tidak ada seorangpun yang mengeluarkan suara. Hanya isak Romlah yang terdengar mengalun sendu.

Tiba-tiba terdengar suara cempreng Mpok Saidah.Menyeruak  diantara keheningan, yang menyayat kalbu para penghuni kontrakkan.

"Baaaang...Abaaang! Aye bener-bener ga nyangka kalau mau dikasih seprais" Mpok Saidahmendadak keluar dari dalam rumah sambil berlenggak lenggok. Memamerkan selendang yang dijadikan kerudung olehnya.

Semua mata memandang ke arah kerudung merah yang dikenakan Mpok Saidahtersebut. Lalu berpindah ke  wajah Pak Erte, yang mulai terlihat seperti kuning telur di rebus.

Sedangkan Romlah mulai memperhatikan Kerudung yang warna dan bentuknya, sudah dihapal di luar kepalanya tersebut.

"Mpok, inikan kerudung Aye"Ujarnya sambil menarik kerudung yang dipakai Mpok Saidah.

"Enak aje, inikan kerudung yang dibeliin oleh laki gue..." Mpok Saidahtidak kalah sengit. "Betul kan Bang...? Bang? Abaaang?" Mpok Saidah menoleh ke arah Pak Erte yang sudah tidak berada di tempatnya.

Sementara Pak Erte sudah lari tunggang langgang, maju tak gentar, jatuh bangun-Kristina meninggalkan kumpulan orang di rumahnya.

"Lariiiii....!" Terdengar suara Pak Erte, mengalun di sepanjang bantaran kali.

Diiringi suara gelak tawa para penghuni kontrakkan.

"Huwa..ha..ha..hahaha..haha....."

(Selesai)

Salam Sendu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun