Mohon tunggu...
Gabriella Possenti
Gabriella Possenti Mohon Tunggu... Freelancer - OBSERVER

I'm quite to recharge my batteries with engage in creative activities

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Bullying dari Sisi Pelaku

11 April 2019   16:06 Diperbarui: 11 April 2019   16:49 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Artikel ini saya buat sudah beberapa bulan yang lalu, namun saya terunggah untuk beropini karena kasus bullying yang terjadi pada akhir-akhir ini, yang terjadi di Pontianak yaitu seorang anak perempuan berumur 14 tahun yang telah dibully oleh sekelompok anak-anak remaja perempuan SMA karena masalah tertentu. 

Kejadian ini tidak dapat dibenarkan oleh pihak manapun, hingga masyarakat Indonesia menjadi geram dan tentu tergerus perasaannya ketika seorang anak menjadi korban pembullyan tersebut. Kasus ini menjadi viral se-Indonesia hingga dukungan terus-menerus untuk korban pun berdatangan. Tetapi bagaimana dengan para pelaku? Tentunya kita tidak dapat dengan mudah mengampuni tindakan yang mereka lakukan, hujatan demi hujatan diberikan oleh para netizen baik di media sosial maupun perbincangan orang-orang pada umumnya. 

Apabila kita tarik mundur ke belakang, apa faktor yang memicu para pelaku melakukan tindakan tidak terpuji tersebut hingga ada korban yang kondisinya cukup memprihatinkan itu? Mungkin sedikit penjabaran opini saya ini bisa membantu kita memahaminya, setuju atau tidak namun kita perlu tahu supaya tidak salah kaprah atau malah menjadi bar-bar, terlepas dari tindakan yang tidak dapat dibenarkan itu.

Tidak asing bagi kita jika mendengar kata bullying atau penindasan, dengan tindakan mengintimidasi, mengancam dan kekerasan terhadap seseorang baik secara fisik, mental, lisan, maupun verbal, hingga di antaranya terjadi ketidakharmonisan sosial karena ada yang lebih kuat dan yang lemah. Bullying dapat terjadi di mana saja, misalnya di sekolah, tempat umum, di kantor, bahkan di kalangan keluarga. 

Namun seiring dengan perkembangan zaman, bullying mulai bergeser ke ranah digital atau cyber. Dan dampak yang ditimbulkan pun sama membahayakannya dengan kasus bullying yang terjadi secara nyata di lingkungan kita, mulai dari trauma karena tekanan dari si pelaku bahkan sampai hilangnya nyawa dari korban baik itu bunuh diri maupun terjadinya pembunuhan oleh si pelaku. 

Dari data yang disampaikan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti pada media TEMPO dalam rangka Hari Anak Nasional bulan Juli 2018 lalu bahwa tercatat 161 kasus per tanggal 30 Mei 2018, dimana terdapat 41 kasus atau sekitar 25,5 persen adalah kasus kekerasan atau bullying yang terjadi di dunia pendidikan. KPAI pun dengan gencar mengajak semua pihak yang terkait untuk mengkampanyekan STOP BULLYING. 

Dunia pendidikan saat ini telah menjadi ruang lingkup yang mengerikan bagi para korban kekerasan atau bullying tempat di mana seharusnya mereka menimba ilmu dan belajar. Kasus-kasus ini jelas memiliki dampak yang tidak baik bagi perkembangan anak yaitu tidak hanya fisik saja melainkan menyerang psikologis si anak sebagai korban bullying itu sendiri. 

Dan yang lebih sangat disayangkan adalah bahwa hal ini kerap terjadi di dalam ruang lingkup pendidikan dan dilakukan oleh teman-teman sebayanya. Bagi saya ini sangat menyedihkan mengingat seorang anak adalah tonggak masa depan bangsa ini. Jika ini terus-terusan terjadi, tak dapat dibayangkan bagaimana kondisi anak di masa depan.

Korban yang merupakan anak di bawah umur dilindungi haknya oleh regulasi sebagai payung hukum dan organisasi perlindungan anak yaitu KPAI. Dari kekerasan dalam bentuk fisik, verbal dan cyber telah diatur di dalamnya, sampai pada bagaimana bentuk penanganannya. Kendatipun demikian, bukan hanya orang tua korban saja yang memiliki kewajiban dalam mengawasi dan melindungi anaknya, tetapi juga orang tua pelaku bullying wajib mewujudkan apa yang menjadi tugasnya sebagai orang tua. 

Ini diatur dalam pasal 26 butir (d) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Pendidikan awal mulanya berasal dari keluarga sebelum seorang anak mendapat pendidikan di sekolah. Dapat dikatakan bahwa orang tua memiliki andil yang berpengaruh pada karakter si anak agar tidak menjadi anak yang sering melakukan kekerasan terhadap temannya sendiri. 

Jika dilihat dari konteks hukumnya, berarti anak yang mem-bully ini tidak menerima pendidikan karakter dan moral dari kedua orang tuanya. Kecenderungan yang sering terjadi orang tua dari anak atau pelaku pem-buly-an ini tidak melaksanakan kewajiban yang telah diatur dalam regulasi terkait. Si anak pun tidak mendapatkan hak untuk didik sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pembiaran ini sering terjadi terus-menerus sampai pada akhirnya si anak memiliki karakter dan moral yang buruk. Orang tua di sini bisa saja telah menghilangkan hak seorang anak dengan tidak mendidik karakternya, bagaimana cara bersikap, bersosial dan menanamkan moral baik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun