Sore itu, aku berpamitan dengan tante dan adikku. Raut mereka tampak sangat sedih.
Kulihat sesekali tante mengelap air matanya yang keluar. Adik pun memelukku dengan erat seakan tidak ingin aku pergi.
Kunaiki kereta api yang hendak meninggalkan stasiun itu. Kulambaikan tanganku lewat jendela kepada tante dan adik sebagai tanda perpisahan terakhir kepada mereka.
Entah kapan aku akan kembali ke kota asalku. Ayah  dan ibu sudah lama tiada. Kami diasuh oleh paman dan tante.
Keluarga paman sederhana dan hanya tinggal di rumah yang sangat kecil. Karena keadaan ekonomi yang sulit, keluarga paman harus mengurangi beban keluarga.
Paman akhirnya mengirimku ke sebuah desa yang sangat jauh dan menitipku ke salah satu teman baiknya. Awalnya, aku menolak dan berat hati untuk dititip.
Tetapi melihat keadaan keluarga paman yang sekarang ditambah tante yang sedang mengandung membuat hatiku luluh.
Di dalam kereta, aku masih tidak bisa menahan tangis meninggalkan adik kandungku. Aku hanya melihat langit yang akan berubah menjadi gelap lewat jendela.
Aku teringat dengan Laika, seekor anjing yang dikirim ke luar angkasa untuk penelitian.Â
Anjing itu diterbangkan dengan roket. Ia terbang melayang-layang sendiri. Tidak ada siapapun di angkasa yang gelap gulita itu.
Aku pun berpikir nasibku sama dengan Laika. Hanya sendirian.
Perjalanan ini cukup lama dan membuatku ngantuk. Aku pun tertidur saat itu juga.Â
Tidak terasa, kereta api sudah tiba di stasiun akhir pada pagi hari. Masinis pun membangunkan seluruh penumpang yang sedang tertidur termasuk diriku.
Stasiun terakhir itu adalah tujuanku. Sebuah desa terpencil yang belum pernah aku kunjungi sama sekali.
Saat aku turun dari kereta, aku mencoba menelepon teman paman. Tetapi tidak diangkat olehnya, aku menjadi khawatir saat itu juga.
Tetapi dari jauh, aku melihat seseorang yang melambai ke arahku tanpa meneriakiku sama sekali.Â
Orang itu akhirnya mendekatiku dan memperkenalkan dirinya dengan menunjukkan tulisan nama yang ia tulis di telapak tangan.
Dari situ, aku tahu kalau orang itu adalah teman paman. Namanya Pak Aryo. Aku juga mengetahui bahwa Pak Aryo adalah seorang tuna rungu.
Aku dibawa olehnya ke rumahnya. Rumahnya tampak sederhana dan ia tinggal sendiri di rumah itu.Â
Kubereskan barang bawaanku di kamar yang diberikan Pak Aryo.Â
Aku beristirahat sejenak dan menelepon keluargaku bahwa aku telah sampai.Â
Mereka sangat bahagia dan mengatakan kepadaku untuk sehat-sehat selalu.
Sore itu, ketika aku berjalan mengelilingi desa kecil itu. Aku melihat awan yang menyerupai seekor anjing. Seketika, aku mengingat Laika.
Aku merenung saat itu juga. Dalam pikiranku, aku masih lebih beruntung dari Laika.Â
Aku mempunyai sesuatu yang berharga yaitu keluarga sederhana yang baik.Â
Walaupun aku yatim piatu, keluarga paman dan Pak Aryo bersedia mengasuh kami.
Sedangkan Laika tidak memiliki sesuatu yang berharga di hidupya dan pada akhirnya anjing itu mati di luar angkasa.
Terima kasih Laika karena sudah mengajarkanku untuk selalu bersyukur dalam hidup.