Pembungkaman suara kritis tersebut mengakibatkan warga sipil, insan pers dan para aktivis, secara psikologis  terganggu. Mereka sering ditekan dan diteror, bahkan ditahan oleh mereka yang hendak mengebiri demokrasi, seperti seperti Mus Frans aktivis lingkungan di Ndao dan Herry Kabut, pemimpin redaksi floresa.co yang mengalami kekerasan dari aparat saat meliput aksi unjuk rasa warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai-NTT pada 2 Oktober 2024 (Floresa.co, 3/10/24)
 Solidaritas Rakyat
Berdasarkan undang-undang, pasal (1) ayat (1) tahun 1945, menyatakan bahwa "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik". Artinya bahwa  kedaulatan/kekuasaan tertinggi di negara ini berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan sistem perwakilan. Atas dasar ini rakyat berhak mengontrol para politisi dan pejabat pemerintah dalam menjalankan tugas negara yang sering kali ''curang'' dan diktator.
Rakyat mesti solid melawan ketidakadilan dan sikap otoriter negara yang dibangun oleh sebagian besar elit politik yang ditopang oleh kaum oligarki. Rakyat sipil mesti bersatu, merasa senasib sebagai korban ketidakadilan dan membangun solidaritas untuk melawan pejabat politik yang rakus, termasuk para oligarki yang membajak demokrasi.
Dalam sejarah bangsa, pernah terjadi kekuatan solidaritas rakyat sipil pada tahun 1998 yang pertama-tama digerakan oleh mahasiswa untuk melengserkan presiden Suharto yang sangat otoriter dan anti demokrasi. Selain itu, pada 25 agustus 2025 terjadi demo besar-besaran rakyat sipil terhadap DPR di sejumlah wilayah di indonesia terkait tunjangan naik. Rakyat berani merampas aset dalam rumah beberapa wakil rakyat dan menteri.
Perstiwa ini kita mesti sadar dan percaya bahwa kekuatan solidaritas rakyat jangan dianggap rendah. Kekuatan solidaritas rakyat mampu menyelamatkan negara yang sedang kritis akibat kecerobohan para politisi rakus di negeri ini.
 Politik kepedulian sosial
Politik kepedulian sosial didasarkan pada cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Romo Mangunwijaya, mengartikan politik kepedulian sosial sebagai politik dalam dimensi moral dan iman yang mengutamakan hidup bersama dengan menanamkan kerukunan dan persaudaraan, memupuk kesetiakawanan, menumpas egoisme, individualisme, maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest (Isidorus Lilijawa, 2007).
Politik Kepedulian sosial inilah yang harus dimiliki oleh para elit politik. Para elit politik harus memiliki cita rasa kemanusiaan dan keadilan dalam dirinya sebagai pejabat negara. Para elit politik mesti peduli terhadap jeritan rakyat, suara kritis didengarkan, dan prioritas pembangunan untuk kepentingan rakyat, serta perluasan kebebasn pers. Sikap kepedulian ini menunjukkan bahwa elit politik bertanggungjawab kepada rakyat dan melayani rakyat, bukannya melayani para oligarki yang kerapkali menyusup dalam setiap pengambilan kebijakan publik untuk mengambil posisi sentral dalam setiap pembangunan negara.
 Martin Heidegger, filsuf asal Jerman, dalam bukunya sein und zeit (1927) menguraikan konsep dasein. Heidegger menekankan kepedulian terhadap orang lain (sorge). Heidegger mengatakan bahwa sesorang tidak hanya hidup di tengah dunia, ia mesti peduli terhadap orang lain. Sikap peduli inilah yang perlu dihidupkan oleh seluruh politisi dan instansi pemerintah.
 Akhirnya, untuk menyelamatkan indonesia dari kekuatan oligarki dan krisis demokrasi, sekali lagi para elit politik harus menghidupi politik kepedulian sosial dan perlu menguatnya solidaritas rakyat sipil. Dengan itu, para elit politik berani melepaskan diri dari homo economicus yang cenderung bersengkokol dengan para oligarki, kemudian berani menghidupi homo democritus yang berorientasi pada kepentingan khalayak umum.