Trauma Elitisme yang Membelenggu
Ada alasan historis mengapa kualifikasi anggota DPR tidak pernah benar-benar ketat. Reformasi lahir dari trauma masa lalu. Pada masa Orde Baru, politik begitu elitis. Akses hanya dimiliki kalangan tertentu. Reformasi berusaha menghancurkan sekat itu. Maka aturan dibuat serba terbuka. Siapa pun bisa maju, siapa pun bisa dipilih.
Tetapi keterbukaan ini ternyata salah arah. Demokrasi tanpa pagar hanya melahirkan kompetisi transaksional. Kursi DPR akhirnya menjadi rebutan orang yang punya modal kuat, bukan orang yang punya kapasitas. Ketakutan akan elitisme membuat kita justru terjebak dalam demokrasi semu yang kualitasnya menurun.
Padahal kita bisa mengambil jalan tengah. Menetapkan kualifikasi bukan berarti menutup pintu bagi rakyat biasa. Justru dengan adanya standar, setiap orang yang maju bisa dipastikan siap. Petani tetap bisa maju, buruh tetap bisa ikut serta, nelayan pun tetap punya hak. Tetapi mereka semua harus melalui tahap persiapan, tes pemahaman, dan pelatihan dasar. Dengan begitu, keterbukaan demokrasi tetap ada, tetapi kualitas tidak dikorbankan.
Kapasitas, Bukan Sekadar Ijazah
Masalah besar sering muncul ketika orang salah paham. Banyak yang menganggap kualifikasi berarti gelar akademik tinggi. Padahal, kapasitas tidak identik dengan ijazah. Seorang sarjana hukum belum tentu punya keberanian moral, sementara seorang aktivis desa yang hanya lulus SMA bisa jadi jauh lebih paham kebutuhan rakyat.
Karena itu, kualifikasi anggota DPR seharusnya dirancang untuk mengukur kapasitas, bukan sekadar formalitas. Bayangkan jika setiap calon wakil rakyat diwajibkan mengikuti tes etika politik, ujian pemahaman dasar konstitusi, serta simulasi penyusunan regulasi. Mereka juga harus menunjukkan rekam jejak keterlibatan sosial: apakah pernah terjun ke masyarakat, apakah punya kontribusi nyata, apakah mengerti problem publik yang sehari-hari dihadapi rakyat.
Inilah bentuk kualifikasi yang sehat. Bukan menutup jalan bagi rakyat kecil, melainkan memastikan siapa pun yang duduk di kursi DPR benar-benar punya bekal untuk menjalankan tugas besar itu. Demokrasi tetap terbuka, tetapi dengan pagar yang jelas agar kualitas terjaga.
Saatnya Berani Menetapkan Standar Baru
Sudah terlalu sering kita kecewa melihat DPR dipenuhi drama, dari debat yang dangkal sampai skandal korupsi yang berulang. Jika kita terus menutup mata terhadap persoalan kualifikasi, kualitas parlemen tidak akan pernah membaik. Demokrasi tanpa kualitas hanya akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan.
Kita butuh keberanian politik untuk menetapkan standar baru. Bukan standar elitis yang menutup jalan bagi rakyat, tetapi standar kapasitas yang membuat setiap calon benar-benar siap. Tidak ada lagi alasan bahwa kualifikasi berarti diskriminasi. Justru sebaliknya, kualifikasi adalah bentuk penghormatan terhadap demokrasi.