Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Anggota DPR Tidak Punya Kualifikasi yang Jelas?

3 September 2025   12:36 Diperbarui: 3 September 2025   12:36 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani. (dpr.go.id/Dok/Andri)

Trauma Elitisme yang Membelenggu

Ada alasan historis mengapa kualifikasi anggota DPR tidak pernah benar-benar ketat. Reformasi lahir dari trauma masa lalu. Pada masa Orde Baru, politik begitu elitis. Akses hanya dimiliki kalangan tertentu. Reformasi berusaha menghancurkan sekat itu. Maka aturan dibuat serba terbuka. Siapa pun bisa maju, siapa pun bisa dipilih.

Tetapi keterbukaan ini ternyata salah arah. Demokrasi tanpa pagar hanya melahirkan kompetisi transaksional. Kursi DPR akhirnya menjadi rebutan orang yang punya modal kuat, bukan orang yang punya kapasitas. Ketakutan akan elitisme membuat kita justru terjebak dalam demokrasi semu yang kualitasnya menurun.

Padahal kita bisa mengambil jalan tengah. Menetapkan kualifikasi bukan berarti menutup pintu bagi rakyat biasa. Justru dengan adanya standar, setiap orang yang maju bisa dipastikan siap. Petani tetap bisa maju, buruh tetap bisa ikut serta, nelayan pun tetap punya hak. Tetapi mereka semua harus melalui tahap persiapan, tes pemahaman, dan pelatihan dasar. Dengan begitu, keterbukaan demokrasi tetap ada, tetapi kualitas tidak dikorbankan.

Kapasitas, Bukan Sekadar Ijazah

Masalah besar sering muncul ketika orang salah paham. Banyak yang menganggap kualifikasi berarti gelar akademik tinggi. Padahal, kapasitas tidak identik dengan ijazah. Seorang sarjana hukum belum tentu punya keberanian moral, sementara seorang aktivis desa yang hanya lulus SMA bisa jadi jauh lebih paham kebutuhan rakyat.

Karena itu, kualifikasi anggota DPR seharusnya dirancang untuk mengukur kapasitas, bukan sekadar formalitas. Bayangkan jika setiap calon wakil rakyat diwajibkan mengikuti tes etika politik, ujian pemahaman dasar konstitusi, serta simulasi penyusunan regulasi. Mereka juga harus menunjukkan rekam jejak keterlibatan sosial: apakah pernah terjun ke masyarakat, apakah punya kontribusi nyata, apakah mengerti problem publik yang sehari-hari dihadapi rakyat.

Inilah bentuk kualifikasi yang sehat. Bukan menutup jalan bagi rakyat kecil, melainkan memastikan siapa pun yang duduk di kursi DPR benar-benar punya bekal untuk menjalankan tugas besar itu. Demokrasi tetap terbuka, tetapi dengan pagar yang jelas agar kualitas terjaga.

Saatnya Berani Menetapkan Standar Baru

Sudah terlalu sering kita kecewa melihat DPR dipenuhi drama, dari debat yang dangkal sampai skandal korupsi yang berulang. Jika kita terus menutup mata terhadap persoalan kualifikasi, kualitas parlemen tidak akan pernah membaik. Demokrasi tanpa kualitas hanya akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan.

Kita butuh keberanian politik untuk menetapkan standar baru. Bukan standar elitis yang menutup jalan bagi rakyat, tetapi standar kapasitas yang membuat setiap calon benar-benar siap. Tidak ada lagi alasan bahwa kualifikasi berarti diskriminasi. Justru sebaliknya, kualifikasi adalah bentuk penghormatan terhadap demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun