Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Anggota DPR Tidak Punya Kualifikasi yang Jelas?

3 September 2025   12:36 Diperbarui: 3 September 2025   12:36 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani. (dpr.go.id/Dok/Andri)

Menjadi wakil rakyat di negeri ini ternyata jauh lebih mudah daripada menjadi pegawai biasa di sebuah perusahaan swasta. Untuk melamar sebagai staf administrasi, kamu harus mengajukan CV, melampirkan ijazah, mengikuti psikotes, bahkan wawancara berlapis. Sedangkan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, syarat yang diminta begitu sederhana. Cukup usia minimal, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dipenjara karena kasus berat, serta mendapatkan kendaraan politik lewat partai. Tidak ada ujian kompetensi, tidak ada tes pemahaman konstitusi, bahkan tidak ada syarat minimal pendidikan yang betul-betul ketat.

Aneh rasanya jika kursi wakil rakyat yang mengatur hukum, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menentukan arah kebijakan negara justru diisi tanpa proses seleksi yang menuntut kualitas. Mengapa bangsa ini seolah tidak pernah serius menetapkan standar yang layak bagi mereka yang disebut wakil rakyat? Apakah karena alasan demokrasi, atau justru ada kepentingan lain yang sengaja membuat posisi ini mudah dimasuki siapa saja?

Demokrasi yang Terlalu Longgar

Sejak reformasi, demokrasi di Indonesia dipuja sebagai pintu kebebasan. Semua orang boleh ikut serta dalam politik, semua orang berhak mencalonkan diri, semua orang bisa dipilih. Di satu sisi, ini membawa angin segar karena rakyat tidak lagi dibatasi oleh rezim otoriter. Tetapi di sisi lain, kebebasan yang terlalu longgar justru melahirkan masalah baru: siapa saja bisa duduk di kursi DPR, bahkan mereka yang sama sekali tidak punya kapasitas legislasi.

Kamu tentu masih ingat maraknya fenomena artis dadakan jadi politisi. Nama besar lebih penting ketimbang isi kepala. Popularitas di layar kaca menjadi tiket emas menuju parlemen. Lalu bagaimana dengan substansi? Bagaimana dengan tanggung jawab besar menyusun undang-undang? Apakah cukup dengan wajah terkenal, lantas otomatis mampu memahami pasal demi pasal yang mengikat hajat hidup orang banyak?

Inilah ilusi demokrasi yang terlalu murah. Kita merasa sudah membuka ruang partisipasi, padahal ruang itu justru dipenuhi oleh orang yang sekadar punya modal atau tenar. Demokrasi akhirnya jatuh pada jebakan populisme, di mana isi lebih sering dikalahkan oleh bungkus. Tidak adanya kualifikasi yang ketat membuat parlemen kita rawan menjadi panggung hiburan, bukan ruang serius untuk menata bangsa.

Standar Profesi dan Kontras yang Mengganggu

Kalau kamu pikirkan sejenak, untuk jadi dokter orang harus kuliah bertahun-tahun, menghafal anatomi, praktik klinik, dan melewati sumpah profesi. Untuk jadi pilot, ada lisensi, jam terbang, dan sertifikasi ketat. Untuk jadi guru TK pun ada kualifikasi akademik minimal. Bahkan untuk sekadar bekerja sebagai staf di kantor pemerintahan, kamu harus melalui tes CPNS yang panjang dan rumit.

Namun untuk menjadi anggota DPR yang kerjanya membuat hukum bagi seluruh rakyat, syaratnya begitu sederhana. Tidak ada uji kemampuan legislasi, tidak ada pembuktian rekam jejak, tidak ada filter integritas yang jelas. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa negara ini lebih serius menetapkan standar bagi profesi teknis, tapi begitu longgar untuk profesi politik?

Kenyataan ini menyisakan rasa janggal. Jika kualitas undang-undang sering kali buruk, tidak heran, karena mereka yang menyusunnya tidak selalu punya kapasitas memadai. Inilah ironi: seorang sopir bus diwajibkan memiliki SIM khusus, sementara seorang legislator yang mengendalikan arah bangsa bisa melenggang masuk tanpa tes khusus apa pun.

Trauma Elitisme yang Membelenggu

Ada alasan historis mengapa kualifikasi anggota DPR tidak pernah benar-benar ketat. Reformasi lahir dari trauma masa lalu. Pada masa Orde Baru, politik begitu elitis. Akses hanya dimiliki kalangan tertentu. Reformasi berusaha menghancurkan sekat itu. Maka aturan dibuat serba terbuka. Siapa pun bisa maju, siapa pun bisa dipilih.

Tetapi keterbukaan ini ternyata salah arah. Demokrasi tanpa pagar hanya melahirkan kompetisi transaksional. Kursi DPR akhirnya menjadi rebutan orang yang punya modal kuat, bukan orang yang punya kapasitas. Ketakutan akan elitisme membuat kita justru terjebak dalam demokrasi semu yang kualitasnya menurun.

Padahal kita bisa mengambil jalan tengah. Menetapkan kualifikasi bukan berarti menutup pintu bagi rakyat biasa. Justru dengan adanya standar, setiap orang yang maju bisa dipastikan siap. Petani tetap bisa maju, buruh tetap bisa ikut serta, nelayan pun tetap punya hak. Tetapi mereka semua harus melalui tahap persiapan, tes pemahaman, dan pelatihan dasar. Dengan begitu, keterbukaan demokrasi tetap ada, tetapi kualitas tidak dikorbankan.

Kapasitas, Bukan Sekadar Ijazah

Masalah besar sering muncul ketika orang salah paham. Banyak yang menganggap kualifikasi berarti gelar akademik tinggi. Padahal, kapasitas tidak identik dengan ijazah. Seorang sarjana hukum belum tentu punya keberanian moral, sementara seorang aktivis desa yang hanya lulus SMA bisa jadi jauh lebih paham kebutuhan rakyat.

Karena itu, kualifikasi anggota DPR seharusnya dirancang untuk mengukur kapasitas, bukan sekadar formalitas. Bayangkan jika setiap calon wakil rakyat diwajibkan mengikuti tes etika politik, ujian pemahaman dasar konstitusi, serta simulasi penyusunan regulasi. Mereka juga harus menunjukkan rekam jejak keterlibatan sosial: apakah pernah terjun ke masyarakat, apakah punya kontribusi nyata, apakah mengerti problem publik yang sehari-hari dihadapi rakyat.

Inilah bentuk kualifikasi yang sehat. Bukan menutup jalan bagi rakyat kecil, melainkan memastikan siapa pun yang duduk di kursi DPR benar-benar punya bekal untuk menjalankan tugas besar itu. Demokrasi tetap terbuka, tetapi dengan pagar yang jelas agar kualitas terjaga.

Saatnya Berani Menetapkan Standar Baru

Sudah terlalu sering kita kecewa melihat DPR dipenuhi drama, dari debat yang dangkal sampai skandal korupsi yang berulang. Jika kita terus menutup mata terhadap persoalan kualifikasi, kualitas parlemen tidak akan pernah membaik. Demokrasi tanpa kualitas hanya akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan.

Kita butuh keberanian politik untuk menetapkan standar baru. Bukan standar elitis yang menutup jalan bagi rakyat, tetapi standar kapasitas yang membuat setiap calon benar-benar siap. Tidak ada lagi alasan bahwa kualifikasi berarti diskriminasi. Justru sebaliknya, kualifikasi adalah bentuk penghormatan terhadap demokrasi.

Demokrasi yang sehat bukan hanya memberi hak untuk maju, tetapi juga memastikan yang maju benar-benar layak. Wakil rakyat bukan sekadar simbol keterwakilan, melainkan pengemban amanah bangsa. Jika kursi itu bisa diisi siapa saja tanpa filter, maka rakyat akan terus jadi korban kebijakan setengah matang.

Sudah saatnya kita berani mengatakan bahwa menjadi anggota DPR bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab yang membutuhkan kesiapan moral, kapasitas intelektual, dan integritas. Tanpa itu semua, demokrasi hanya tinggal nama.

Penutup
Tidak adanya kualifikasi yang jelas untuk menjadi anggota DPR membuat demokrasi kita kehilangan kualitas. Alih-alih menjadi rumah rakyat, DPR sering berubah menjadi panggung transaksional. Padahal menetapkan standar tidak berarti menutup jalan bagi rakyat kecil, melainkan memberi pagar agar setiap orang yang masuk benar-benar siap. Jika kita ingin parlemen berwibawa, undang-undang berkualitas, dan politik yang sehat, kualifikasi adalah langkah yang tak bisa ditunda. Demokrasi tanpa kualitas hanyalah demokrasi yang rapuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun