Namun, di sisi lain, menyederhanakan semua demo menjadi rekayasa jelas menutup mata dari kenyataan. Rakyat bisa marah tanpa harus diatur. Mereka tidak butuh provokator ketika perut lapar, harga kebutuhan makin mahal, dan kebijakan dianggap menindas. Menganggap demo hanyalah skenario dalang sama saja dengan meremehkan kesadaran rakyat.
Lebih jauh lagi, narasi ditunggangi sering dijadikan tameng. Ia menjadi alasan praktis agar pemerintah tidak perlu bercermin. Jika semua dianggap rekayasa, berarti tidak ada masalah nyata yang harus diperbaiki. Padahal, demo itu sendiri sudah menjadi bukti bahwa ada yang salah.
Suara Rakyat yang Tak Pernah Didengar
Salah satu masalah utama yang sering melahirkan kerusuhan adalah rasa tidak didengar. Rakyat bicara lewat jalur formal, tapi suaranya menguap. Mereka mengadu lewat media, tapi masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Pada akhirnya, jalanan menjadi satu-satunya tempat yang mereka percaya masih bisa mendengar.
Kamu bisa lihat pola yang berulang. Mahasiswa menolak kebijakan, buruh menuntut upah layak, petani memprotes alih fungsi lahan. Semua suara itu lahir dari kebutuhan sehari-hari, bukan dari skenario elite. Rakyat tidak butuh dalang untuk merasa kecewa.
Kerusuhan yang kemudian muncul sering kali hanyalah ekspresi terakhir. Ia seperti jeritan paling keras yang dipaksakan ketika suara pelan tidak pernah digubris. Di titik ini, menuduh ada yang menunggangi sama saja dengan menutup mata dari luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Pertanyaannya, apakah negara berani mendengar suara itu tanpa buru-buru menuduh ada kepentingan di baliknya? Sebab yang paling berbahaya bukanlah kerusuhan itu sendiri, melainkan rasa bahwa rakyat sudah putus asa dan tidak punya ruang untuk bicara.
Permainan Kepentingan di Tengah Kemarahan
Meski rakyat bisa marah dengan sendirinya, celah untuk kepentingan memang selalu terbuka. Massa yang marah ibarat air bah, dan siapa pun yang lihai bisa mengarahkan alirannya.
Dalam sejarah politik Indonesia, tidak sedikit demo yang kemudian dimanfaatkan untuk agenda lain. Ada demo mahasiswa yang ditumpangi oleh elite politik untuk menekan lawan, ada kerusuhan sosial yang dipelintir menjadi alasan penguasa memperketat kontrol, bahkan ada protes rakyat kecil yang kemudian dijadikan panggung partai besar.
Di titik ini, rakyat berada dalam posisi paling rawan. Mereka turun ke jalan dengan tulus, tetapi ujungnya justru dimanfaatkan. Tuntutan mereka tenggelam oleh kepentingan lain. Ketika kerusuhan pecah, media lebih sibuk meliput kaca pecah dan api menyala, bukan mendengar isi tuntutan. Pada akhirnya, suara rakyat kembali hilang, dan yang tersisa hanyalah opini publik yang tercemar oleh framing kepentingan.