Di kota-kota besar, terutama Jabodetabek, waktu tempuh perjalanan menuju kantor sering kali jauh lebih panjang dibandingkan durasi makan siang. Tidak sedikit pekerja yang menghabiskan tiga hingga lima jam setiap hari hanya untuk bolak-balik dari rumah ke tempat kerja. Jika dihitung, dalam setahun waktu yang hilang bisa mencapai lebih dari 700 jam, setara dengan hampir satu bulan penuh hidup hanya untuk berada di jalan. Situasi ini bukan sekadar soal macet atau jarak, tetapi lebih dalam lagi: soal kualitas hidup, kesehatan mental, dan bahkan cara kita memaknai keseharian.
Kenyataannya, commuting telah menjadi fenomena sosial yang menentukan bagaimana masyarakat kota besar menjalani rutinitas. Banyak orang merasa bahwa perjalanan ke kantor adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern, tetapi sedikit yang menyadari betapa besar dampaknya terhadap fisik, emosi, hingga produktivitas. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana cara agar commuting tidak lagi menjadi beban yang menyiksa, melainkan bisa dijalani dengan lebih sehat, produktif, bahkan memberi nilai tambah bagi hidup.
Stres Perjalanan yang Lebih Rumit dari Sekadar Macet
Ketika orang membicarakan commuting, bayangan pertama yang muncul biasanya jalanan padat merayap dengan suara klakson bersahut-sahutan. Macet memang masalah utama, tetapi bukan satu-satunya sumber stres. Tekanan waktu karena harus tiba tepat pukul delapan pagi, kekhawatiran akan keterlambatan transportasi umum, polusi udara yang makin parah, hingga kondisi kendaraan yang penuh sesak juga turut menambah beban mental.
Yang lebih menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana commuting memengaruhi kesehatan mental dalam jangka panjang. Rasa frustrasi yang berulang karena terjebak macet, ketidakpastian jadwal transportasi, atau perilaku pengendara lain dapat menumpuk menjadi stres kronis. Ini bisa memicu gangguan tidur, emosi mudah meledak, hingga menurunkan daya konsentrasi di kantor.
Lebih jauh lagi, commuting juga menciptakan ketidakadilan sosial. Mereka yang tinggal jauh dari pusat kota, umumnya dengan biaya hidup lebih rendah, harus membayar harga mahal berupa kesehatan fisik dan mental. Sementara itu, mereka yang tinggal dekat kantor bisa menikmati waktu lebih banyak untuk keluarga, olahraga, atau sekadar beristirahat. Dengan kata lain, commuting bukan hanya soal perjalanan, tetapi juga refleksi dari ketimpangan tata ruang kota dan distribusi fasilitas publik.
Membentuk Ritme Pribadi di Tengah Lalu Lintas
Meski penuh tantangan, commuting tidak selalu harus menjadi mimpi buruk. Ada ruang bagi setiap orang untuk mengolah pengalaman ini menjadi lebih bermakna, asal tahu cara menemukan ritme pribadi. Banyak pekerja kini mulai menganggap perjalanan sebagai waktu transisi yang berharga, semacam jeda sebelum memasuki tuntutan kerja.
Salah satu caranya adalah dengan menciptakan ritual sederhana di perjalanan. Misalnya, mendengarkan podcast inspiratif, belajar bahasa asing melalui aplikasi, atau sekadar menikmati musik yang menenangkan. Aktivitas-aktivitas ini membantu mengalihkan fokus dari stres jalanan ke hal-hal yang lebih produktif atau menyenangkan.
Ritme pribadi juga bisa dibentuk dengan memilih moda transportasi yang sesuai dengan kebutuhan. Beberapa orang lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi karena memberi kendali penuh atas waktu. Namun, ada pula yang merasa lebih rileks naik kereta atau bus karena bisa memanfaatkan waktu untuk membaca atau bekerja ringan. Kuncinya ada pada kemampuan mengenali diri sendiri: apakah kamu tipe orang yang lebih butuh kontrol, atau justru bisa merasa lebih damai ketika menyerahkan kendali perjalanan pada sistem transportasi umum.