Kamu pernah lihat anak kecil berseragam lusuh di pinggir jalan, menjajakan tisu atau menadahkan tangan, padahal jam pelajaran masih berlangsung? Di balik tatapan kosong mereka, tersimpan pertanyaan tajam yang tak terucap: benarkah sekolah itu hak semua anak? Atau hanya janji manis dalam dokumen negara yang tak pernah benar-benar menyentuh realita?
Ketika Hukum Bicara Hak, Tapi Kenyataan Bicara Lain
Secara konstitusi, Indonesia sudah jelas berdiri di sisi anak-anak. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Bahkan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak-anak berhak mendapat pendidikan yang layak, bermutu, dan tanpa diskriminasi.
Tapihukum, sayangnya, tidak punya tangan panjang yang bisa menjangkau semua sudut negeri. Di banyak desa dan pinggiran kota, anak-anak masih harus bertarung dengan jarak, biaya, dan budaya yang kerap kali mengabaikan pentingnya sekolah. Mereka yang tinggal di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) seringkali harus berjalan berjam-jam untuk sampai ke sekolah. Bahkan, ada yang menyeberangi sungai dengan rakit atau melewati jalan setapak yang rawan longsor.
Kamu mungkin mengira ini hanya cerita dari masa lalu. Tapi data menunjukkan bahwa masalah ini masih hidup, bahkan hari ini. Menurut BPS, pada 2023 terdapat lebih dari 580 ribu anak usia sekolah dasar dan menengah yang tercatat putus sekolah. Sebagian besar berasal dari keluarga miskin dan wilayah terpencil.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada fenomena silent drop out, di mana anak-anak hadir di sekolah secara fisik, tapi secara mental dan emosional mereka sudah “keluar” dari sistem. Mereka tidak bisa mengikuti pelajaran karena lapar, stres, atau terlalu sibuk membantu orang tua bekerja. Negara mungkin menganggap mereka masih bersekolah, tapi kenyataannya mereka tidak belajar apa-apa.
Antara Kemiskinan, Budaya, dan Beban Ekonomi Keluarga
Kamu perlu tahu bahwa faktor ekonomi adalah akar dari sebagian besar kasus putus sekolah. Tapi bukan sekadar soal biaya seragam atau iuran sekolah. Masalahnya jauh lebih dalam. Banyak keluarga di Indonesia berada dalam situasi di mana setiap tenaga dalam rumah tangga menjadi vital untuk bertahan hidup. Maka ketika anak memasuki usia produktif, mereka didorong untuk bekerja, bukan belajar.
Menurut kajian UNICEF tahun 2022, anak-anak di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan sebagian Kalimantan masih lebih banyak terlihat di ladang atau pasar daripada di kelas. Mereka ikut mencari nafkah sejak usia 10 tahun. Ini bukan karena orang tuanya jahat atau tak peduli. Tapi karena sistem ekonomi kita belum memberi jaminan kehidupan dasar yang layak bagi keluarga miskin.
Ada juga faktor budaya yang tak bisa diabaikan. Di beberapa komunitas adat, sekolah belum dianggap sebagai kebutuhan utama. Pendidikan formal sering dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal, atau bahkan dianggap “merusak” anak karena mengajarkan cara berpikir yang berbeda dari tradisi leluhur.