Mengapa Kita Sering Salah Kaprah Menilai Anak Nakal
Salah satu akar masalah terbesar adalah definisi "nakal" itu sendiri. Di banyak keluarga dan sekolah, label nakal sering disematkan terlalu cepat dan terlalu dangkal. Anak yang kritis dianggap pembangkang. Anak yang aktif disebut hiperaktif. Anak yang menyendiri dikira tidak sopan. Padahal, banyak dari perilaku itu adalah bentuk ekspresi, bukan pembangkangan.
Label "anak nakal" juga sering dipakai sebagai stempel yang melekat kuat. Ketika anak sudah dianggap nakal, segala tindakannya selalu dilihat dari lensa negatif. Dia dihukum lebih berat, tidak dipercaya, dan dijauhi. Ini yang disebut self-fulfilling prophecy: anak yang dilabeli buruk cenderung jadi buruk karena itu ekspektasi lingkungan.
Hal ini makin diperparah oleh budaya malu di masyarakat. Orang tua lebih khawatir anaknya dianggap memalukan daripada mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dialami anak. Sekolah pun lebih suka "membersihkan" siswa bermasalah daripada membina. Maka tidak heran, ketika semua pintu pembinaan tertutup, muncul satu opsi ekstrem: barak militer.
Tapi ingat, ketika kita salah memahami anak, kita juga salah dalam memberi solusi. Dan itu justru membuat masalah makin dalam, bukan selesai.
Pendekatan Baru yang Lebih Beradab dan Efektif
Daripada terus mengandalkan pendekatan kekerasan dan hukuman fisik, sudah saatnya kita memikirkan pendekatan yang lebih manusiawi. Banyak negara maju sudah mulai menggeser paradigma ini. Mereka tidak lagi melihat anak bermasalah sebagai musuh, tapi sebagai individu yang perlu dipahami dan dibantu.
Misalnya di Finlandia, anak yang mengalami masalah perilaku tidak langsung dihukum atau dipisahkan. Mereka ditemani oleh psikolog dan guru khusus yang fokus pada perkembangan emosi dan sosial. Mereka diajak bicara, diajak merasa dimengerti. Hasilnya? Tingkat kekerasan remaja di sana jauh lebih rendah dibanding negara-negara yang mengandalkan hukuman fisik.
Di Indonesia pun sudah mulai ada inisiatif serupa, walaupun masih terbatas. Beberapa sekolah alternatif dan komunitas belajar mulai menerapkan pendekatan pendidikan berbasis trauma healing dan kesadaran diri. Anak-anak tidak lagi dilabeli, tapi diberi ruang untuk berkembang sesuai karakter mereka masing-masing.
Dan untuk orang tua, edukasi parenting menjadi kunci. Banyak orang tua yang sebenarnya ingin mendidik anak dengan baik, tapi tidak tahu caranya. Program pendampingan orang tua, pelatihan komunikasi dengan anak, dan penyuluhan psikologis bisa sangat membantu. Karena pada akhirnya, rumah adalah madrasah pertama. Kalau dari rumah saja sudah keliru, anak akan terus membawa luka ke mana pun mereka pergi.
Menyusun Ulang Harapan Kita terhadap Generasi Muda