Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Anak Nakal, Apa Barak Militer Jadi Solusi Instan?

10 Mei 2025   19:15 Diperbarui: 10 Mei 2025   18:12 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak di Bawa Ke Barak Militer (KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN)

Ada yang menarik dari diskusi belakangan ini soal anak-anak yang dianggap "nakal" dan tidak bisa dibina oleh orang tua maupun sekolah. Banyak suara yang terdengar nyaring menyarankan satu solusi ekstrem: kirim saja mereka ke barak militer. Alasannya? Supaya anak-anak itu belajar disiplin, tanggung jawab, dan punya mental baja. Tapi pertanyaannya, benarkah barak militer adalah solusi terbaik? Atau justru itu cerminan bahwa kita sudah menyerah sebagai masyarakat dalam mendidik generasi muda?

Ketika Rumah dan Sekolah Kehilangan Fungsinya

Kalau kita bicara soal kenakalan remaja, kita nggak bisa langsung lompat ke solusi tanpa memahami dulu kenapa mereka "nakal". Dalam banyak kasus, perilaku menyimpang pada anak bukan muncul begitu saja. Itu adalah hasil dari proses yang lama, akumulasi dari pengabaian, kesalahan pola asuh, dan sistem pendidikan yang tidak relevan.

Di rumah, banyak orang tua tidak punya waktu, pengetahuan, atau bahkan keinginan untuk mendidik anak secara emosional. Mereka terlalu sibuk bekerja atau terlalu larut dalam urusan pribadi. Akibatnya, anak tumbuh tanpa fondasi moral dan empati yang cukup. Ketika anak mulai menunjukkan perilaku menyimpang, reaksi yang muncul bukan mendampingi, tapi memarahi, menghakimi, atau malah menyerah.

Di sisi lain, sekolah lebih fokus pada angka daripada karakter. Kurikulum padat, guru kelelahan, dan tidak ada waktu untuk memahami satu per satu murid. Padahal, banyak anak yang nakalnya justru berawal dari merasa tidak didengar atau tidak dianggap. Mereka mencari perhatian, eksistensi, dan terkadang pelarian. Lalu, ketika dua institusi utama dalam hidup anak  rumah dan sekolah sama-sama gagal memahami, kita menyalahkan mereka sebagai anak nakal. Ironis, bukan?

Solusi atau Simbol Putus Asa?

Belakangan, kita sering mendengar usulan untuk memasukkan anak-anak nakal ke barak militer. Di mata sebagian orang, ini adalah solusi cepat. Barak militer dianggap mampu "meluruskan" anak yang bandel, lewat latihan fisik yang keras, aturan yang tegas, dan kedisiplinan militer. Tapi, mari kita jujur sejenak benarkah barak militer adalah tempat yang tepat untuk anak-anak yang sedang bermasalah?

Barak militer bukan pusat rehabilitasi, apalagi tempat untuk menyembuhkan luka psikologis. Anak-anak yang nakal sering kali membawa beban emosi yang berat. Mereka mungkin tumbuh dalam kekerasan, trauma, atau minim kasih sayang. Ketika mereka dimasukkan ke lingkungan yang keras tanpa pendekatan psikologis yang tepat, bukan mustahil mereka justru makin tertekan, bahkan rusak secara mental.

Di sisi lain, pendekatan ala militer berisiko menciptakan generasi yang patuh tanpa memahami. Disiplin dan ketegasan memang penting, tapi kalau tidak dibarengi dengan empati dan kesadaran, anak hanya akan taat karena takut bukan karena mengerti kenapa mereka harus bertanggung jawab.

Kamu mungkin bertanya, "Tapi ada kok yang berhasil berubah setelah masuk barak." Ya, memang ada. Tapi berapa persen dari mereka yang benar-benar pulih secara emosional? Berapa banyak yang justru menyimpan luka baru? Di titik ini, kita perlu sadar: usulan anak nakal masuk barak bisa jadi bukan solusi, melainkan jalan pintas dari masyarakat yang tidak siap menghadapi kompleksitas persoalan anak muda.

Mengapa Kita Sering Salah Kaprah Menilai Anak Nakal

Salah satu akar masalah terbesar adalah definisi "nakal" itu sendiri. Di banyak keluarga dan sekolah, label nakal sering disematkan terlalu cepat dan terlalu dangkal. Anak yang kritis dianggap pembangkang. Anak yang aktif disebut hiperaktif. Anak yang menyendiri dikira tidak sopan. Padahal, banyak dari perilaku itu adalah bentuk ekspresi, bukan pembangkangan.

Label "anak nakal" juga sering dipakai sebagai stempel yang melekat kuat. Ketika anak sudah dianggap nakal, segala tindakannya selalu dilihat dari lensa negatif. Dia dihukum lebih berat, tidak dipercaya, dan dijauhi. Ini yang disebut self-fulfilling prophecy: anak yang dilabeli buruk cenderung jadi buruk karena itu ekspektasi lingkungan.

Hal ini makin diperparah oleh budaya malu di masyarakat. Orang tua lebih khawatir anaknya dianggap memalukan daripada mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dialami anak. Sekolah pun lebih suka "membersihkan" siswa bermasalah daripada membina. Maka tidak heran, ketika semua pintu pembinaan tertutup, muncul satu opsi ekstrem: barak militer.

Tapi ingat, ketika kita salah memahami anak, kita juga salah dalam memberi solusi. Dan itu justru membuat masalah makin dalam, bukan selesai.

Pendekatan Baru yang Lebih Beradab dan Efektif

Daripada terus mengandalkan pendekatan kekerasan dan hukuman fisik, sudah saatnya kita memikirkan pendekatan yang lebih manusiawi. Banyak negara maju sudah mulai menggeser paradigma ini. Mereka tidak lagi melihat anak bermasalah sebagai musuh, tapi sebagai individu yang perlu dipahami dan dibantu.

Misalnya di Finlandia, anak yang mengalami masalah perilaku tidak langsung dihukum atau dipisahkan. Mereka ditemani oleh psikolog dan guru khusus yang fokus pada perkembangan emosi dan sosial. Mereka diajak bicara, diajak merasa dimengerti. Hasilnya? Tingkat kekerasan remaja di sana jauh lebih rendah dibanding negara-negara yang mengandalkan hukuman fisik.

Di Indonesia pun sudah mulai ada inisiatif serupa, walaupun masih terbatas. Beberapa sekolah alternatif dan komunitas belajar mulai menerapkan pendekatan pendidikan berbasis trauma healing dan kesadaran diri. Anak-anak tidak lagi dilabeli, tapi diberi ruang untuk berkembang sesuai karakter mereka masing-masing.

Dan untuk orang tua, edukasi parenting menjadi kunci. Banyak orang tua yang sebenarnya ingin mendidik anak dengan baik, tapi tidak tahu caranya. Program pendampingan orang tua, pelatihan komunikasi dengan anak, dan penyuluhan psikologis bisa sangat membantu. Karena pada akhirnya, rumah adalah madrasah pertama. Kalau dari rumah saja sudah keliru, anak akan terus membawa luka ke mana pun mereka pergi.

Menyusun Ulang Harapan Kita terhadap Generasi Muda

Kita perlu refleksi besar sebagai masyarakat: kenapa kita bisa sampai pada titik di mana anak nakal masuk barak dianggap solusi terbaik? Apakah kita benar-benar ingin membina, atau hanya ingin menyingkirkan anak-anak yang dianggap "bermasalah"? Kalau kita serius ingin membangun generasi yang kuat, maka membangun karakter bukan cuma urusan barak militer. Itu harus jadi tanggung jawab bersama  mulai dari rumah, sekolah, hingga komunitas.

Anak-anak bukan kertas kosong yang bisa dicetak dengan pola yang sama. Mereka punya cerita, latar belakang, dan kompleksitas masing-masing. Kita harus lebih sabar, lebih kritis, dan lebih terbuka dalam mendampingi mereka. Jangan buru-buru menghukum ketika mereka salah. Sebaliknya, cari tahu kenapa mereka bisa seperti itu, dan bantu mereka bangkit.

Jangan biarkan kegagalan kita sebagai orang dewasa ditutupi dengan solusi keras yang justru memperparah luka. Kalau memang harus ada tempat untuk mendisiplinkan anak, pastikan itu bukan tempat yang mencabut kemanusiaannya. Pendidikan, sejatinya, bukan sekadar membuat anak patuh. Tapi membuat mereka paham, tumbuh, dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.

Penutup

Ketika kamu mendengar lagi soal anak-anak nakal yang dikirim ke barak militer, cobalah bertanya satu hal: benarkah itu solusi, atau itu hanya cara kita menolak bertanggung jawab? Jangan buru-buru menyetujui sesuatu hanya karena terlihat tegas. Bisa jadi, ketegasan itu menyembunyikan ketakutan kita sendiri untuk menghadapi kenyataan.

Anak-anak adalah cerminan dari lingkungan yang membesarkannya. Kalau kita ingin mereka berubah, mungkin kita harus mulai dengan mengubah cara kita melihat dan memperlakukan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun