Bayangkan sebuah dunia di mana siapa pun bebas berbicara tanpa batas. Orang-orang bisa mengkritik pemerintah sesuka hati, mencemooh individu tanpa konsekuensi, menyebarkan berita tanpa peduli kebenarannya, bahkan menghina sesama tanpa rasa bersalah. Dunia seperti itu mungkin terdengar sebagai bentuk demokrasi yang sempurna, tetapi pada kenyataannya, kebebasan tanpa batas bisa menjadi pisau bermata dua yang tajam.
Kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang harus dilindungi, tetapi pada saat yang sama, hak ini juga membawa konsekuensi. Ketika ekspresi dilakukan tanpa tanggung jawab, ia dapat melukai orang lain, merusak harmoni sosial, bahkan menimbulkan konflik berkepanjangan. Inilah yang menjadi dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab sosial?
Sejarah telah mencatat bagaimana kebebasan berekspresi yang tidak terkendali dapat membawa dampak buruk. Di berbagai negara, ujaran kebencian telah memicu kekerasan massal, propaganda palsu telah menggiring opini publik ke arah yang keliru, dan penyalahgunaan media sosial telah menghancurkan reputasi serta kehidupan seseorang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan absolut. Ia memiliki batasan yang perlu dijaga agar tidak merugikan individu lain maupun masyarakat secara luas.
Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Hukum dan Etika
Di Indonesia, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini diperkuat oleh Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang memberikan hak kepada setiap orang untuk menyampaikan pendapat tanpa intervensi. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas. Pasal 28J UUD 1945 secara tegas membatasi hak-hak individu demi menghormati hak orang lain serta menjaga ketertiban umum.
Dalam konteks hukum, Indonesia memiliki berbagai regulasi yang mengatur batasan kebebasan berekspresi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 misalnya, sering digunakan untuk menjerat pelaku penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan pencemaran nama baik di dunia maya. Di satu sisi, aturan ini bertujuan untuk menjaga ruang digital agar tetap sehat, tetapi di sisi lain, penerapannya sering kali menuai kontroversi karena dianggap bisa membungkam kritik yang sah terhadap pemerintah dan institusi tertentu.
Masalahnya, batas antara ekspresi yang sah dan ekspresi yang berbahaya sering kali kabur. Kritik terhadap kebijakan publik yang disampaikan secara objektif bisa dianggap sebagai ujaran kebencian oleh pihak yang merasa tersinggung. Sebaliknya, ujaran kebencian yang jelas-jelas melanggar etika bisa saja dikemas sebagai "kritik" untuk menghindari jeratan hukum. Inilah tantangan besar dalam menegakkan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab: bagaimana membedakan kritik yang sah dengan ujaran yang destruktif?
Ketika Kebebasan Berubah Menjadi Keblabasan
Salah satu contoh nyata dari kebebasan berekspresi yang keblabasan adalah penyebaran informasi tanpa verifikasi. Di era digital, siapa pun bisa menjadi "wartawan dadakan". Media sosial dan platform daring memungkinkan individu menyebarluaskan informasi dengan cepat, tanpa harus melalui proses verifikasi yang ketat seperti di media konvensional. Akibatnya, berita bohong atau hoaks menjadi fenomena yang sulit dibendung.
Sebuah studi dari MIT Sloan School of Management menemukan bahwa berita bohong menyebar 6 kali lebih cepat dibandingkan berita benar di media sosial. Ini terjadi karena informasi yang mengejutkan atau provokatif lebih menarik perhatian publik, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan. Di Indonesia, kasus penyebaran hoaks telah beberapa kali memicu ketegangan sosial, bahkan berujung pada kerusuhan.
Misalnya, pada Pemilu 2019, beredar berbagai informasi yang salah mengenai hasil pemilu, yang memicu aksi massa dan bentrokan di beberapa daerah. Kasus ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara tanpa tanggung jawab dapat berujung pada disinformasi massal yang membahayakan stabilitas negara.
Tidak hanya itu, ujaran kebencian juga semakin marak dalam diskursus publik. Di media sosial, banyak orang merasa lebih berani mengutarakan pendapatnya, bahkan dengan kata-kata kasar dan menyinggung. Anonimitas di dunia maya memberikan ruang bagi individu untuk melakukan cyberbullying, fitnah, dan perundungan tanpa takut akan konsekuensi langsung.
Salah satu kasus yang mencolok adalah fenomena "cancel culture" atau budaya pembatalan, di mana seseorang yang dianggap melakukan kesalahan langsung dihujani kritik hingga reputasinya hancur. Fenomena ini sering kali tidak memberikan ruang bagi individu untuk menjelaskan atau memperbaiki diri. Banyak tokoh publik yang menjadi korban "trial by social media", di mana mereka dihukum oleh opini publik tanpa melalui proses hukum yang adil.
Kondisi ini mengarah pada suatu ironi: kebebasan berekspresi yang seharusnya menjadi alat untuk membuka dialog justru berubah menjadi alat untuk membungkam pihak lain. Bukannya membangun diskusi yang sehat, banyak orang justru berlomba-lomba mencari "musuh bersama" untuk diserang demi kepuasan emosional semata.
Batasan yang Adil dan Bertanggung Jawab
Lalu, bagaimana cara menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial? Ada beberapa hal yang bisa menjadi solusi.
Pertama, diperlukan edukasi literasi digital yang lebih masif. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi yang valid dari yang tidak valid. Dengan literasi yang baik, orang tidak akan mudah termakan hoaks atau terpancing provokasi yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Kedua, hukum harus ditegakkan secara adil dan tidak tebang pilih. Jika seseorang menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, di sisi lain, hukum juga harus tetap memberikan ruang bagi kritik yang konstruktif. Jika hukum digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, maka demokrasi justru akan melemah.
Ketiga, budaya diskusi yang sehat perlu ditanamkan sejak dini. Masyarakat harus memahami bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan tidak perlu selalu direspons dengan kebencian. Dalam demokrasi, setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya, tetapi mereka juga harus siap untuk menerima kritik dari orang lain.
Keempat, individu harus menyadari bahwa kebebasan berekspresi tidak hanya tentang hak, tetapi juga tanggung jawab. Setiap kata yang diucapkan memiliki dampak. Oleh karena itu, sebelum berbicara atau membagikan informasi, penting untuk berpikir dua kali: apakah hal itu benar? Apakah itu akan menyakiti orang lain? Apakah itu membawa manfaat atau justru merugikan?
Kesimpulan
Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama demokrasi, tetapi ia bukanlah kebebasan tanpa batas. Jika digunakan tanpa tanggung jawab, kebebasan ini dapat menjadi bumerang yang justru menghancurkan tatanan sosial. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perundungan daring adalah beberapa contoh nyata bagaimana kebebasan berekspresi yang keblabasan bisa merusak kehidupan individu maupun masyarakat secara luas.
Maka, yang dibutuhkan bukanlah pembatasan yang menekan kebebasan, tetapi regulasi dan kesadaran kolektif yang memastikan kebebasan berekspresi tetap berada dalam jalur yang sehat. Hanya dengan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih aman, inklusif, dan bermanfaat bagi semua.
Jadi, sebelum berbicara atau mengetik sesuatu di media sosial, tanyakan pada dirimu sendiri: Apakah ini sekadar kebebasan berekspresi, atau sudah menjadi kebebasan yang keblabasan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI