Misalnya, pada Pemilu 2019, beredar berbagai informasi yang salah mengenai hasil pemilu, yang memicu aksi massa dan bentrokan di beberapa daerah. Kasus ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara tanpa tanggung jawab dapat berujung pada disinformasi massal yang membahayakan stabilitas negara.
Tidak hanya itu, ujaran kebencian juga semakin marak dalam diskursus publik. Di media sosial, banyak orang merasa lebih berani mengutarakan pendapatnya, bahkan dengan kata-kata kasar dan menyinggung. Anonimitas di dunia maya memberikan ruang bagi individu untuk melakukan cyberbullying, fitnah, dan perundungan tanpa takut akan konsekuensi langsung.
Salah satu kasus yang mencolok adalah fenomena "cancel culture" atau budaya pembatalan, di mana seseorang yang dianggap melakukan kesalahan langsung dihujani kritik hingga reputasinya hancur. Fenomena ini sering kali tidak memberikan ruang bagi individu untuk menjelaskan atau memperbaiki diri. Banyak tokoh publik yang menjadi korban "trial by social media", di mana mereka dihukum oleh opini publik tanpa melalui proses hukum yang adil.
Kondisi ini mengarah pada suatu ironi: kebebasan berekspresi yang seharusnya menjadi alat untuk membuka dialog justru berubah menjadi alat untuk membungkam pihak lain. Bukannya membangun diskusi yang sehat, banyak orang justru berlomba-lomba mencari "musuh bersama" untuk diserang demi kepuasan emosional semata.
Batasan yang Adil dan Bertanggung Jawab
Lalu, bagaimana cara menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial? Ada beberapa hal yang bisa menjadi solusi.
Pertama, diperlukan edukasi literasi digital yang lebih masif. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi yang valid dari yang tidak valid. Dengan literasi yang baik, orang tidak akan mudah termakan hoaks atau terpancing provokasi yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Kedua, hukum harus ditegakkan secara adil dan tidak tebang pilih. Jika seseorang menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, di sisi lain, hukum juga harus tetap memberikan ruang bagi kritik yang konstruktif. Jika hukum digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik, maka demokrasi justru akan melemah.
Ketiga, budaya diskusi yang sehat perlu ditanamkan sejak dini. Masyarakat harus memahami bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan tidak perlu selalu direspons dengan kebencian. Dalam demokrasi, setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya, tetapi mereka juga harus siap untuk menerima kritik dari orang lain.
Keempat, individu harus menyadari bahwa kebebasan berekspresi tidak hanya tentang hak, tetapi juga tanggung jawab. Setiap kata yang diucapkan memiliki dampak. Oleh karena itu, sebelum berbicara atau membagikan informasi, penting untuk berpikir dua kali: apakah hal itu benar? Apakah itu akan menyakiti orang lain? Apakah itu membawa manfaat atau justru merugikan?
Kesimpulan