Di benak banyak orang, kepolisian seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga ketertiban dan keadilan di masyarakat. Sosok polisi yang berwibawa, berintegritas, dan siap menolong siapa saja yang membutuhkan, sering kali diromantisasi dalam film, buku, dan propaganda negara. Namun, ketika realita berbicara, citra tersebut kerap kali bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.
Berapa kali kita membaca berita tentang polisi yang justru terlibat dalam tindak kriminal? Kasus suap, kekerasan berlebihan, bahkan keterlibatan dalam jaringan narkotika dan paling parah pembunuhan hal ini menggambarkan apa yang di benak masyarakat bukan lagi sekadar tudingan kosong. Namun dalam banyak kasus, kepolisian justru menjadi bagian dari masalah ketimbang menjadi solusi bagi masyarakat.
Lantas, apakah problematika kepolisian ini murni karena individu-individu yang menyimpang, atau ada masalah yang lebih besar dalam sistem itu sendiri? Untuk memahami ini lebih dalam, kita perlu menelaah berbagai aspek yang menyelimuti institusi kepolisian, dari korupsi sistemik, penyalahgunaan wewenang, hingga lemahnya transparansi dan akuntabilitas.
Antara Penegak Hukum dan Mafia Berbaju Seragam
Tidak bisa dipungkiri, korupsi di tubuh kepolisian adalah salah satu masalah paling krusial. Transparency International dalam berbagai laporannya selalu menempatkan lembaga kepolisian sebagai salah satu institusi paling korup di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Korupsi dalam kepolisian bukan hanya berbentuk suap kecil-kecilan yang dilakukan oleh petugas lalu lintas di jalan raya. Di balik layar, ada skema yang jauh lebih besar, seperti perlindungan terhadap sindikat narkotika, jual-beli jabatan, hingga praktik mafia hukum yang menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, kasus eks Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, yang mengguncang publik pada 2022, menjadi bukti bahwa problematika kepolisian bukan hanya sebatas oknum, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem yang kompleks. Kasus ini memperlihatkan bagaimana jaringan kekuasaan dalam kepolisian dapat memanipulasi fakta, mengendalikan opini publik, dan bahkan berusaha menutupi kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya sendiri.
Jika seorang perwira tinggi bisa memiliki kuasa sebesar itu untuk merekayasa sebuah kasus pembunuhan, bagaimana dengan perwira-perwira lainnya yang mungkin memiliki kepentingan serupa? Bagaimana dengan anggota di level bawah yang melihat praktik semacam ini sebagai sesuatu yang lumrah?
Dari Pengamanan Demonstrasi hingga Interogasi yang Tidak Berprikemanusiaan
Ketika berbicara tentang penyalahgunaan wewenang, kita tidak bisa mengabaikan brutalitas polisi yang sering kali menjadi momok bagi masyarakat. Kasus kekerasan oleh aparat terhadap warga sipil telah terjadi berulang kali, baik dalam pengamanan aksi demonstrasi, interogasi tersangka, hingga dalam situasi yang seharusnya bisa diselesaikan secara persuasif.
Salah satu kasus yang sempat menjadi sorotan adalah penanganan demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan tindakan represif dari aparat. Gas air mata, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang seolah menjadi pemandangan yang wajar dalam aksi-aksi protes. Padahal, dalam demokrasi, demonstrasi adalah hak asasi yang dilindungi oleh undang-undang.
Tak hanya itu, praktik kekerasan dalam proses interogasi juga menjadi isu yang mengkhawatirkan. Banyak tersangka yang dipaksa mengaku dengan cara-cara yang tidak manusiawi, mulai dari pemukulan hingga penyiksaan psikologis. Kasus "salah tangkap" pun sering kali terjadi akibat penyidikan yang tidak transparan dan mengandalkan pengakuan paksa ketimbang bukti yang valid.
Brutalitas semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak aparat yang melihat kekuasaan sebagai alat untuk menekan dan menakuti masyarakat, bukan sebagai tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi.
Sistem Perekrutan yang Bermasalah?
Salah satu akar dari banyaknya problematika dalam kepolisian adalah sistem perekrutan yang tidak transparan dan sarat dengan praktik nepotisme serta jual-beli jabatan.
Di Indonesia, masuk akademi kepolisian bukan hanya soal kemampuan atau prestasi, tetapi sering kali juga soal "uang pelicin" dan koneksi. Tak sedikit yang mengaku harus mengeluarkan ratusan juta rupiah hanya untuk bisa lolos seleksi.
Dampaknya jelas, mereka yang masuk bukan berdasarkan kualitas dan dedikasi, melainkan berdasarkan siapa yang memiliki akses dan kekuatan finansial. Akibatnya, ketika sudah resmi bertugas, banyak polisi yang merasa perlu "mengembalikan modal" dengan cara mencari celah untuk mendapatkan uang tambahan, baik melalui pungli, suap, maupun praktik ilegal lainnya.
Jika dari awal mereka sudah terbiasa dengan sistem yang kotor, bagaimana kita bisa berharap mereka akan menjadi aparat yang jujur dan profesional?
Hukum yang Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Salah satu alasan mengapa banyak masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kepolisian adalah karena hukum yang diterapkan tidak adil.
Ketika masyarakat kecil melakukan kesalahan, mereka bisa dengan mudah ditindak dan dihukum tanpa ampun. Namun, ketika yang melakukan kesalahan adalah pejabat, pengusaha, atau bahkan anggota kepolisian sendiri, kasusnya sering kali menguap begitu saja.
Kasus-kasus besar seperti dugaan keterlibatan aparat dalam jaringan narkoba atau korupsi bernilai miliaran rupiah sering kali berakhir tanpa kejelasan. Sebaliknya, seorang pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar bisa dengan cepat digusur tanpa belas kasihan.
Ini adalah gambaran nyata dari hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka kepercayaan terhadap sistem hukum di negara ini akan semakin tergerus.
Mungkinkah Ada Perubahan?
Dengan berbagai permasalahan yang begitu kompleks, muncul pertanyaan: mungkinkah kepolisian bisa berubah?
Perubahan tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Reformasi kepolisian harus dimulai dari perbaikan sistem secara menyeluruh, bukan sekadar mengganti pejabat atau memberikan hukuman kepada beberapa individu yang ketahuan berbuat salah.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memperkuat sistem pengawasan independen terhadap kepolisian. Jika kepolisian hanya diawasi oleh institusi internal, maka objektivitas dalam menangani pelanggaran akan selalu diragukan.
Selain itu, transparansi dalam penegakan hukum harus diperketat. Setiap kasus yang melibatkan aparat harus bisa diakses oleh publik dan media agar tidak ada lagi praktik manipulasi di balik layar.
Tak kalah penting, sistem rekrutmen dan pelatihan harus dirombak total. Polisi yang direkrut harus benar-benar mereka yang memiliki dedikasi dan kompetensi, bukan sekadar mereka yang mampu membayar sejumlah uang untuk mendapatkan posisi.
Tanpa perubahan sistemik, problematika kepolisian akan terus berulang, dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat yang seharusnya melindungi mereka.
Kesimpulan
Kepolisian sebagai institusi seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan melindungi masyarakat. Namun, realitas yang terjadi sering kali justru bertolak belakang.
Dari korupsi yang mengakar, penyalahgunaan wewenang, brutalitas aparat, hingga ketidakadilan dalam hukum, semua ini menunjukkan bahwa ada masalah besar dalam sistem kepolisian yang harus segera dibenahi.
Jika tidak ada reformasi yang serius dan menyeluruh, maka kepercayaan publik terhadap kepolisian akan terus menurun, dan dampaknya bisa jauh lebih buruk daripada yang kita bayangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI