Bayangkan suatu pagi, kamu membuka media sosial dan menemukan berita yang mengejutkan: seorang tokoh terkenal tertangkap dalam kasus korupsi besar, atau sebuah ramalan yang menyebutkan bencana dahsyat akan terjadi dalam waktu dekat. Tanpa berpikir panjang, jari-jarimu refleks membagikannya ke grup WhatsApp keluarga. Beberapa menit kemudian, ponselmu dipenuhi balasan yang beragam ada yang marah, ada yang panik, dan ada pula yang langsung mempercayainya tanpa pertanyaan lebih lanjut.
Fenomena seperti ini bukan lagi hal asing di Indonesia. Maraknya berita Hoax yang beredar, disertai dengan respons cepat masyarakat dalam menyebarkannya, seolah menjadi pola yang terus berulang. Lebih mengkhawatirkan lagi, berita-berita palsu ini sering kali lebih mudah viral dibandingkan berita yang berbasis fakta.
Mengapa masyarakat lebih tertarik pada berita Hoax dibandingkan berita faktual? Apakah ada faktor psikologis, sosial, atau bahkan struktural yang memperkuat kecenderungan ini? Jika dibiarkan, apakah kita akan hidup dalam ekosistem informasi yang semakin dipenuhi oleh kebohongan?
Psikologi di Balik Konsumsi Berita Hoax
Salah satu alasan utama mengapa masyarakat Indonesia lebih mudah percaya dan menyebarkan berita Hoax terletak pada faktor psikologis. Manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Fenomena ini disebut confirmation bias, di mana seseorang cenderung menerima informasi yang menguatkan pandangan mereka dan menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinannya.
Dalam konteks sosial, Hoax sering kali disusun dengan tujuan untuk memancing emosi, baik itu ketakutan, kemarahan, maupun harapan palsu. Misalnya, berita tentang obat herbal yang diklaim bisa menyembuhkan segala jenis penyakit sering kali lebih menarik dibandingkan jurnal medis yang menjelaskan pengobatan secara ilmiah. Orang lebih suka mendengar sesuatu yang ingin mereka percayai daripada menerima kenyataan yang kompleks dan kadang sulit dipahami.
Daya Tarik Sensasionalisme dan Kecepatan Penyebaran
Di era digital, informasi tersebar dengan sangat cepat. Sayangnya, berita yang paling cepat menyebar sering kali bukanlah berita yang paling akurat, melainkan yang paling menarik secara emosional. Sebuah penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa berita Hoax di Twitter menyebar enam kali lebih cepat dibandingkan berita faktual. Alasan utamanya adalah karena berita Hoax cenderung mengandung unsur kejutan dan kontroversi yang menarik perhatian lebih besar.
Di Indonesia, kondisi ini diperburuk oleh tingginya penetrasi media sosial. Berdasarkan data We Are Social 2023, lebih dari 78% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif internet, dengan mayoritas mengakses berita melalui media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan TikTok. Algoritma platform-platform ini dirancang untuk menyajikan konten yang paling sering dibagikan atau direspons oleh pengguna, tanpa mempertimbangkan apakah konten tersebut benar atau tidak.
Akibatnya, ketika sebuah berita Hoax mendapatkan perhatian besar, algoritma akan semakin memperkuat penyebarannya. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana semakin banyak orang yang percaya dan menyebarkan informasi palsu, semakin besar pula jangkauannya.
Minimnya Literasi Digital dan Kegagalan dalam Verifikasi Fakta
Salah satu tantangan terbesar dalam melawan Hoax adalah rendahnya tingkat literasi digital masyarakat Indonesia. Banyak orang belum memahami bagaimana cara mengecek sumber berita, membedakan informasi yang valid dari yang menyesatkan, atau mengenali pola penyebaran berita palsu.
Laporan dari Program for International Student Assessment (PISA) 2019 menunjukkan bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia masih berada di bawah rata-rata global. Jika seseorang tidak terbiasa membaca dengan kritis, mereka akan lebih mudah terjebak dalam jebakan informasi yang salah.
Lebih dari itu, minimnya kebiasaan membaca secara mendalam juga menjadi masalah tersendiri. Kebanyakan orang hanya membaca judul tanpa membuka isi berita secara keseluruhan. Inilah yang membuat teknik clickbait sangat efektif dalam menyebarkan Hoax. Judul yang provokatif sering kali cukup untuk membentuk opini publik, meskipun isi berita sebenarnya bertentangan atau bahkan tidak relevan dengan judulnya.
Dimensi Sosial Ketakutan, Kelompok, dan Propaganda
Faktor sosial juga memainkan peran besar dalam maraknya konsumsi berita Hoax. Dalam masyarakat yang sangat kolektif seperti Indonesia, informasi yang datang dari teman, keluarga, atau kelompok sosial sering kali dianggap lebih kredibel dibandingkan media resmi.
Misalnya, jika sebuah informasi disebarkan oleh tokoh agama atau figur publik yang dihormati, banyak orang cenderung menerimanya tanpa verifikasi lebih lanjut. Ini sejalan dengan teori social proof, di mana seseorang lebih mudah percaya pada sesuatu jika banyak orang lain yang juga mempercayainya.
Selain itu, ada juga faktor ketakutan yang dimanfaatkan oleh penyebar Hoax untuk memperkuat pesan mereka. Dalam situasi krisis, seperti pandemi COVID-19, misinformasi tentang obat, konspirasi, atau teori palsu dapat menyebar lebih cepat dibandingkan fakta ilmiah. Ketika orang berada dalam kondisi ketidakpastian, mereka lebih rentan terhadap informasi yang memberikan kepastian, meskipun itu tidak benar.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah propaganda politik. Dalam beberapa tahun terakhir, Hoax sering digunakan sebagai alat untuk membentuk opini publik dan menjatuhkan lawan politik. Banyak berita palsu yang sengaja disebarkan untuk memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu tokoh atau kebijakan tertentu.
Dampak Nyata dari Hoax di Masyarakat
Jika dibiarkan terus berkembang, penyebaran berita Hoax dapat menimbulkan konsekuensi serius. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya polarisasi di masyarakat. Ketika orang lebih banyak terpapar informasi yang menyesatkan, mereka cenderung menjadi lebih fanatik terhadap keyakinan mereka dan sulit menerima sudut pandang lain.
Selain itu, Hoax juga dapat berdampak langsung pada kehidupan individu. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana berita palsu dapat menyebabkan kerusuhan sosial, merugikan bisnis, bahkan mengancam nyawa. Contoh yang paling tragis adalah kasus penyebaran Hoax yang berujung pada persekusi atau kekerasan massa terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindakan tertentu tanpa bukti yang jelas.
Dalam skala yang lebih besar, Hoax juga dapat merusak kepercayaan terhadap institusi. Jika masyarakat terus-menerus dibombardir dengan informasi palsu, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, media, atau bahkan ilmu pengetahuan. Ini bisa berbahaya, terutama dalam situasi krisis di mana kepercayaan terhadap sumber informasi resmi sangat dibutuhkan.
Solusi Melawan Berita Hoax
Mengatasi masalah ini membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, mulai dari individu, media, hingga pemerintah. Salah satu langkah paling mendesak adalah meningkatkan literasi digital secara luas. Program edukasi tentang cara mengenali berita palsu harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan kampanye publik.
Selain itu, media harus lebih aktif dalam meluruskan berita Hoax. Faktanya, beberapa platform sudah mulai mengembangkan program fact-checking untuk menangkal misinformasi. Namun, tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam memilah informasi, upaya ini akan tetap terbatas.
Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi yang mengatur penyebaran berita palsu. Meski sudah ada undang-undang yang mengatur tentang penyebaran informasi bohong, implementasinya masih menghadapi tantangan besar. Hukuman bagi pelaku penyebaran Hoax perlu diperketat, tetapi tetap harus diimbangi dengan kebebasan berekspresi agar tidak disalahgunakan.
Yang paling penting, setiap individu harus mulai lebih kritis dalam mengonsumsi informasi. Sebelum membagikan sebuah berita, penting untuk bertanya: apakah sumbernya kredibel? Apakah ada bukti yang mendukung klaim dalam berita tersebut? Apakah berita ini bertujuan untuk mengedukasi atau sekadar memancing emosi?
Kesimpulan
Di tengah derasnya arus informasi, memilih untuk menjadi konsumen berita yang cerdas bukan lagi sekadar opsi, tetapi sebuah keharusan. Masyarakat yang lebih suka mengonsumsi berita Hoax bukan hanya masalah individu, tetapi juga tantangan besar bagi masa depan demokrasi dan kestabilan sosial kita.
Saatnya berhenti menjadi bagian dari masalah, dan mulai menjadi bagian dari solusi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI