Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sedekade Dana Tapi Data Stunting Tidak Berubah! @KompasianaDESA

25 Februari 2025   11:47 Diperbarui: 25 Februari 2025   12:02 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tinggi badan anak.(Freepik/ jcomp)

Sejak diperkenalkan pada tahun 2015, Dana Desa telah menjadi tonggak utama dalam pembangunan pedesaan di Indonesia. Program ini diklaim sebagai salah satu strategi paling progresif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan aliran dana yang mencapai ratusan triliun rupiah dalam satu dekade terakhir.

Tujuan besar di balik program ini sederhana namun krusial: meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa melalui pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Namun, meskipun investasi besar telah dilakukan, ada satu fakta yang masih sulit dipahami---angka stunting di Indonesia tetap tinggi dan tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Fenomena ini tentu memunculkan banyak pertanyaan. Jika dana desa telah mengalir deras hingga ke pelosok, mengapa masalah stunting masih menjadi ancaman bagi generasi masa depan? Apakah ada yang salah dalam implementasi kebijakan ini? Ataukah stunting memang bukan sekadar persoalan ekonomi dan infrastruktur, melainkan masalah yang lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam?

Melalui artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam paradoks antara besarnya kucuran Dana Desa dan stagnasi dalam upaya menurunkan angka stunting.

Pembangunan Desa yang Berjalan, tetapi Stunting Tak Berkurang

Selama sepuluh tahun terakhir, Dana Desa telah digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur di pedesaan. Jalan-jalan desa diperbaiki, jembatan dibangun, sarana air bersih diperbanyak, dan berbagai program lain diluncurkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Namun, keberhasilan ini ternyata belum cukup untuk mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan manusia: stunting.

Stunting adalah kondisi di mana pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak terhambat akibat kekurangan gizi kronis dalam seribu hari pertama kehidupan. Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka stunting nasional masih berada di angka 21,6%, hanya mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, di beberapa daerah, angkanya tetap stagnan atau bahkan meningkat meskipun Dana Desa terus dikucurkan.

Fakta ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar yang belum terselesaikan. Pembangunan infrastruktur fisik memang penting, tetapi apakah cukup untuk mengatasi persoalan yang bersumber dari pola asuh, gizi, sanitasi, dan akses kesehatan yang buruk?

Mengapa Dana Desa Belum Mampu Menekan Angka Stunting?

Salah satu kendala utama dalam menekan angka stunting melalui Dana Desa adalah orientasi pengelolaan dana yang masih terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik. Banyak kepala desa yang lebih memilih membangun jalan, jembatan, dan balai desa karena proyek-proyek ini lebih mudah diukur hasilnya dan lebih "terlihat" dampaknya oleh masyarakat. Sementara itu, program yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan pola asuh sering kali hanya menjadi pelengkap atau bahkan terabaikan.

Padahal, stunting bukan sekadar akibat dari kemiskinan atau kurangnya infrastruktur. Faktor utama yang memicu stunting justru berkaitan dengan pola asuh orang tua, akses terhadap pangan bergizi, serta sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika desa tidak memiliki program yang kuat dalam aspek ini, maka aliran dana sebesar apa pun tidak akan mampu membawa perubahan yang nyata.

Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dalam seribu hari pertama kehidupan juga menjadi tantangan serius. Banyak keluarga di pedesaan yang masih menganggap bahwa makanan pokok seperti nasi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, tanpa memahami pentingnya protein hewani, vitamin, dan mineral dalam mendukung pertumbuhan optimal.

Ketidakefektifan Program Gizi dan Kesehatan di Tingkat Desa

Di atas kertas, Dana Desa bisa digunakan untuk mendukung berbagai program kesehatan, termasuk pengadaan makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita, penyuluhan tentang pola makan sehat, serta peningkatan layanan Posyandu dan Puskesmas. Sayangnya, di banyak desa, program-program ini sering kali hanya bersifat seremonial dan tidak dijalankan secara konsisten.

Salah satu masalah yang sering terjadi adalah kurangnya tenaga pendamping yang memiliki kapasitas dalam menangani isu gizi dan kesehatan anak. Kader Posyandu, yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam edukasi gizi, sering kali tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dan hanya berperan dalam penimbangan berat badan anak tanpa memberikan solusi konkret bagi ibu-ibu yang memiliki anak berisiko stunting.

Selain itu, banyak desa yang masih menghadapi kendala dalam menyediakan air bersih dan sanitasi yang layak. Infeksi akibat sanitasi buruk, seperti diare dan cacingan, menjadi penyebab utama anak-anak gagal tumbuh meskipun mereka sudah mendapatkan asupan makanan yang cukup. Jika akses terhadap air bersih dan sanitasi yang baik tidak diperbaiki, maka sulit untuk berharap bahwa angka stunting bisa turun secara signifikan.

Kurangnya Transparansi dan Pengawasan dalam Pengelolaan Dana Desa

Dana Desa yang jumlahnya besar tentu saja mengundang berbagai tantangan dalam pengelolaannya. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana ini. Di beberapa daerah, dana yang seharusnya digunakan untuk program kesehatan dan gizi malah dialihkan untuk proyek lain yang lebih menguntungkan secara politis bagi aparat desa.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa kali menemukan kasus penyalahgunaan Dana Desa yang menyebabkan program-program penting, termasuk upaya penurunan stunting, tidak berjalan dengan optimal. Tanpa pengawasan yang ketat, sulit untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar digunakan sesuai peruntukannya.

Di sisi lain, birokrasi yang rumit juga sering menjadi penghambat dalam implementasi program yang berbasis kesehatan dan gizi. Proses pencairan dana yang berbelit-belit serta minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah desa sering kali membuat program terhambat atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

Apa yang Harus Diperbaiki?

Jika Dana Desa ingin benar-benar membawa dampak signifikan dalam menekan angka stunting, maka ada beberapa langkah yang perlu segera diambil.

Pertama, pemerintah harus memperjelas prioritas dalam penggunaan Dana Desa dengan menekankan bahwa aspek kesehatan dan gizi harus menjadi bagian utama dari pembangunan desa. Tidak cukup hanya membangun jalan dan jembatan, tetapi desa juga harus memastikan bahwa anak-anak yang lahir di desa tersebut mendapatkan asupan gizi yang cukup dan tumbuh dengan sehat.

Kedua, diperlukan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat tentang pentingnya gizi dalam seribu hari pertama kehidupan. Ini bisa dilakukan melalui program pelatihan bagi kader Posyandu, penyuluhan langsung kepada ibu-ibu hamil, serta kampanye publik yang lebih masif.

Ketiga, pengawasan terhadap penggunaan Dana Desa harus diperketat. Transparansi dalam alokasi anggaran dan pelaksanaan program harus ditingkatkan agar dana benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan segelintir elite desa.

Keempat, perlu ada pendekatan yang lebih holistik dalam menangani stunting. Ini berarti desa tidak hanya fokus pada pemberian makanan tambahan atau program gizi, tetapi juga memperbaiki sanitasi, meningkatkan akses air bersih, serta memastikan layanan kesehatan ibu dan anak berjalan dengan baik.

Kesimpulan

Satu dekade telah berlalu sejak Dana Desa pertama kali dikucurkan, tetapi tantangan besar seperti stunting masih belum sepenuhnya teratasi. Ini menjadi bukti bahwa pembangunan fisik saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.

Jika desa ingin benar-benar maju dan generasi masa depan terbebas dari ancaman stunting, maka kebijakan penggunaan Dana Desa harus berubah. Tidak lagi hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga memastikan bahwa setiap anak di desa memiliki akses terhadap gizi yang cukup, sanitasi yang baik, serta lingkungan yang mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal.

Masa depan Indonesia bergantung pada bagaimana kita menangani masalah ini. Sudah waktunya untuk tidak hanya membangun desa secara fisik, tetapi juga membangun kualitas sumber daya manusia yang sehat dan cerdas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun