Jika diskriminasi dalam rekrutmen sudah jelas merugikan banyak pihak, mengapa masih banyak perusahaan yang menerapkannya?
Salah satu alasannya adalah pola pikir yang masih konvensional. Banyak perusahaan di Indonesia masih berpegang pada standar lama dalam perekrutan, di mana usia muda dianggap lebih produktif, penampilan menarik lebih memikat klien, dan pekerja lajang lebih fleksibel. Padahal, kenyataannya tidak selalu demikian. Produktivitas seseorang lebih dipengaruhi oleh keterampilan, pengalaman, dan motivasi, bukan oleh faktor usia atau status pernikahan.
Selain itu, kurangnya regulasi yang tegas dari pemerintah membuat praktik diskriminatif ini terus berlanjut. Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia memang melarang diskriminasi dalam pekerjaan, tetapi implementasi dan pengawasannya masih lemah. Tidak ada sanksi yang benar-benar tegas bagi perusahaan yang menerapkan syarat-syarat diskriminatif dalam rekrutmen, sehingga mereka terus melakukannya tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.
Perusahaan juga sering kali beralasan bahwa kriteria yang mereka tetapkan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kesesuaian budaya kerja. Misalnya, perusahaan yang bergerak di industri kreatif mungkin lebih memilih pekerja muda karena dianggap lebih inovatif dan mudah beradaptasi dengan tren baru. Namun, ini adalah asumsi yang tidak selalu benar. Banyak pekerja yang lebih senior tetap mampu berinovasi dan mengikuti perkembangan zaman jika diberi kesempatan dan pelatihan yang memadai.
Dampak Diskriminasi dalam Lowongan Kerja
Diskriminasi dalam dunia kerja bukan hanya merugikan pencari kerja, tetapi juga berdampak negatif pada perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
Banyak talenta potensial yang tersisih hanya karena faktor non-teknis yang sebenarnya tidak berkaitan dengan pekerjaan yang mereka lamar. Ini berarti perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tenaga kerja yang sebenarnya lebih kompeten dan berpengalaman, hanya karena mereka tidak memenuhi standar subjektif yang ditetapkan.
Dampak lain yang tidak kalah serius adalah meningkatnya ketimpangan sosial. Jika akses terhadap pekerjaan terus ditentukan oleh usia, jenis kelamin, atau penampilan, maka kelompok-kelompok tertentu akan terus tertinggal. Orang yang berusia lebih tua, perempuan di bidang tertentu, atau mereka yang tidak sesuai dengan standar fisik tertentu akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan, meskipun mereka memiliki keterampilan dan pengalaman yang mumpuni.
Selain itu, diskriminasi dalam rekrutmen juga dapat menurunkan motivasi dan moral tenaga kerja. Ketika seseorang ditolak bukan karena kurangnya kompetensi, tetapi karena alasan diskriminatif, mereka akan merasa tidak dihargai. Ini bisa menyebabkan penurunan semangat dalam mencari pekerjaan dan bahkan berdampak pada kesehatan mental mereka.
Dari sisi perusahaan, menerapkan kriteria diskriminatif justru bisa merusak citra mereka di mata publik. Di era digital saat ini, informasi menyebar dengan sangat cepat. Perusahaan yang diketahui melakukan praktik diskriminatif bisa mendapatkan reputasi buruk di media sosial, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kepercayaan pelanggan dan calon pekerja.
Bagaimana Cara Mengatasi Diskriminasi dalam Rekrutmen?