Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghapus Stigma Lelaki Tidak Boleh Menangis

4 Februari 2025   16:20 Diperbarui: 4 Februari 2025   16:20 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pria Menangis.Pixabay.com/StockSnap 

Pernahkah kamu melihat seorang anak laki-laki kecil jatuh dari sepedanya, lututnya berdarah, matanya mulai berair, tetapi tiba-tiba ia menghentikan tangisnya karena seseorang berkata, "Jangan menangis, kamu kan laki-laki!" Kalimat sederhana itu terdengar sepele, bahkan mungkin dianggap bentuk motivasi. Namun, siapa sangka kalimat tersebut adalah benih dari sebuah stigma yang menancap dalam: bahwa laki-laki tidak boleh menangis.

Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, air mata pria sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan. Pria diharapkan menjadi sosok tangguh, kuat, dan tidak mudah goyah. Menangis? Itu seolah hanya diperbolehkan untuk perempuan atau anak-anak. Tapi, benarkah menangis adalah cerminan kelemahan? Atau justru, menahan air mata dan memendam emosi adalah beban yang perlahan merusak kesehatan mental?

Tulisan ini bukan sekadar ajakan untuk membebaskan pria dari stigma lama, tetapi juga sebuah upaya untuk membuka mata kita tentang pentingnya ruang bagi pria mengekspresikan emosinya. Karena di balik ketegaran yang sering dipaksakan, ada hati yang juga bisa rapuh, ada luka yang tak terlihat, dan ada air mata yang tertahan begitu lama.

Bagaimana Stigma Ini Terbentuk?

Untuk memahami kenapa stigma ini begitu kuat, kita harus kembali melihat bagaimana konstruksi sosial membentuk peran gender. Sejak kecil, laki-laki dibesarkan dengan narasi bahwa mereka adalah pelindung, pemimpin, dan pahlawan. Nilai-nilai patriarki menempatkan pria di posisi dominan, dengan ekspektasi bahwa mereka harus rasional, logis, dan tegar. Sementara emosi seperti sedih, takut, atau rapuh dianggap sebagai sifat feminin yang tidak sejalan dengan definisi tradisional tentang maskulinitas.

Di masa lalu, kemampuan bertahan hidup sangat bergantung pada kekuatan fisik dan mental. Para pria diharapkan kuat untuk berburu, melindungi keluarga, dan menghadapi bahaya. Emosi dianggap bisa mengganggu fokus dan ketangguhan itu. Namun, seiring berkembangnya peradaban, alasan-alasan ini menjadi tidak relevan. Sayangnya, pola pikir tersebut terlanjur diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan norma yang sulit digoyahkan.

Film, buku, dan media massa juga memainkan peran besar dalam memperkuat stigma ini. Karakter pria dalam film laga, misalnya, jarang digambarkan menangis. Mereka selalu tegar, bahkan saat kehilangan orang yang dicintai. Gambaran inilah yang tertanam di benak banyak pria sebagai standar ideal. Padahal, di balik layar, aktor-aktor tersebut adalah manusia biasa yang juga punya perasaan.

Dampak Psikologis

Stigma ini lebih dari sekadar larangan sosial; ini adalah bom waktu bagi kesehatan mental pria. Menekan emosi secara terus-menerus bukanlah tanda kekuatan, melainkan sebuah beban yang lambat laun bisa menghancurkan. Menurut penelitian dari American Psychological Association, pria memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami depresi yang tidak terdiagnosis karena mereka enggan mengakui perasaan sedih atau cemas.

Hal ini diperparah dengan fakta bahwa pria jarang mencari bantuan profesional saat menghadapi masalah emosional. Mereka lebih memilih untuk mengatasinya sendiri atau, lebih buruk lagi, mengalihkannya ke perilaku destruktif seperti kecanduan alkohol, agresivitas, atau bahkan bunuh diri. Data dari World Health Organization menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri pada pria jauh lebih tinggi dibandingkan wanita di banyak negara, termasuk Indonesia. Bukan karena pria lebih lemah, melainkan karena mereka diajarkan untuk tidak meminta bantuan.

Menangis Bukan Sekadar Air Mata, Tapi Terapi Alamiah

Menangis bukan hanya ekspresi emosional; ini adalah mekanisme biologis yang dirancang untuk membantu tubuh kita mengatasi stres. Saat seseorang menangis karena emosi yang kuat, tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol. Air mata emosional mengandung zat kimia yang membantu mengurangi rasa sakit emosional. Inilah mengapa banyak orang merasa lebih lega setelah menangis.

Profesor William Frey dari University of Minnesota menemukan bahwa air mata emosional berbeda secara kimiawi dari air mata refleks (seperti saat mata terkena debu). Air mata emosional mengandung hormon stres dan racun yang dikeluarkan dari tubuh, sehingga membantu menenangkan sistem saraf. Menangis, dalam konteks ini, bukanlah kelemahan melainkan bentuk penyembuhan diri yang alami.

Namun, pria yang menahan air mata mereka sama saja seperti seseorang yang mencoba menahan batuk saat sakit. Mungkin terlihat 'kuat' di luar, tapi di dalam, tubuhnya sedang berjuang melawan sesuatu yang seharusnya dikeluarkan.

Mengapa Menghapus Stigma Ini Penting?

Menghapus stigma bahwa laki-laki tidak boleh menangis bukan hanya tentang memberi kebebasan emosional kepada pria, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara mental. Pria yang mampu mengenali dan mengekspresikan emosinya cenderung memiliki hubungan yang lebih harmonis, baik dengan keluarga, pasangan, maupun lingkungan kerja.

Di Jepang, sebuah studi menunjukkan bahwa pria yang lebih ekspresif secara emosional memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit jantung. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya tekanan darah dan tingkat stres yang lebih stabil. Dengan kata lain, mengekspresikan emosi bukan hanya baik untuk kesehatan mental, tetapi juga kesehatan fisik.

Selain itu, menghapus stigma ini juga berdampak positif pada generasi berikutnya. Anak laki-laki yang melihat ayahnya tidak malu menunjukkan emosi akan tumbuh dengan pemahaman bahwa perasaan adalah bagian dari kemanusiaan, bukan sesuatu yang harus disembunyikan. Mereka akan belajar bahwa menjadi pria bukan berarti harus selalu kuat tanpa cela, tetapi mampu jujur terhadap diri sendiri.

Dari Ketabuan Menuju Normalisasi

Perubahan paradigma ini memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil. Kita bisa mulai dari lingkungan terdekat keluarga. Orang tua harus berhenti menggunakan kalimat seperti "Jangan nangis, kamu kan cowok". Sebaliknya, mereka bisa berkata, "Tidak apa-apa merasa sedih. Ceritakan apa yang kamu rasakan." Memberikan ruang bagi anak laki-laki untuk mengekspresikan emosi sejak dini akan membangun dasar yang kuat untuk kecerdasan emosional mereka di masa depan.

Di ranah publik, figur-figur terkenal yang berani menunjukkan emosi mereka tanpa malu bisa menjadi agen perubahan. Contohnya, Lionel Messi yang menangis saat perpisahan dengan Barcelona, atau aktor Keanu Reeves yang dikenal tidak ragu berbicara tentang kesedihannya di media. Mereka membuktikan bahwa seorang pria bisa sukses, dihormati, dan tetap manusiawi dengan segala emosinya.

Kesimpulan

Menghapus stigma bahwa lelaki tidak boleh menangis bukan sekadar membebaskan pria dari belenggu norma lama. Ini tentang memberi ruang bagi setiap individu untuk menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Air mata bukan musuh; ia adalah sahabat yang membantu kita melewati masa-masa sulit.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti bertanya, "Kenapa pria menangis?" dan mulai bertanya, "Kenapa tidak?" Karena pada akhirnya, menjadi kuat bukan berarti tidak pernah menangis, melainkan memiliki keberanian untuk menghadapi emosi kita, menerimanya, dan tetap melangkah maju.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun