Udara pagi baru saja melambai, ketika dua sahabat dari Jember mengayunkan roda kendaraan mereka menembus kabut tipis dan geliat awal hari. Jam tangan menunjuk angka tujuh, saat mobil perlahan meninggalkan batas kota. Di dalamnya, duduk dua insan pemberdaya desa, yaitu aku dan Mbak Ennik Yudhayanti, S.T. Hari itu, 28 Mei 2025, bukanlah hari biasa. Ada yang berdebar di dada, bukan hanya karena aku akan menjadi narasumber kegiatan Bimbingan Teknis Pendataan Indeks Desa Tahun 2025, tapi karena ini adalah hari terakhirku bertugas di Kabupaten Bondowoso.
Perjalanan terasa sejenak, seperti waktu enggan panjang-panjang ketika tahu akan mengantar pada perpisahan. Tepat pukul delapan pagi, roda mobil kami bersentuhan dengan halaman parkir kantor BAPPEDA Kabupaten Bondowoso. Pohon ketapang yang berdiri gagah di sisi halaman tampak menundukkan daun-daunnya, seperti menyambut kami atau mungkin sedang bersiap mengucapkan salam perpisahan.
Aku melangkah pelan dengan kruk di tangan, menyusuri jalur rump yang disediakan untuk difabel. Tapi hari itu, rump tak bersahabat. Ia licin. Air yang memercik dari semprotan seorang sopir mobil dinas yang sedang asyik menyabuni besi-besi negara, dan tetesan dari pipa AC di atas, menjadikan jalanku teruji. Krukku berdecit pelan, mengadu pada lantai basah. Tapi langkah tetap kupaksakan, karena tugasku belum selesai.
Lobi BAPPEDA menyambut kami dengan kursi sofa berwarna coklat dan hawa yang tenang. Aku dan Mbak Ennik duduk berhadapan. Kami membicarakan rencana pelaksanaan bimtek dan bagaimana menundukkan tangga menuju lantai dua. Tapi ada yang menggantung di udara, yaitu aroma perpisahan yang mulai menguar pelan.
Pertemuan akan dilakukan di lantai dua. Tak ada lift, tak ada jalur difabel. Tangga tua berdiri diam, seperti mengamati langkah kami dari masa ke masa. Aku pun memberanikan diri untuk berjalan di tangga itu. Ya, dengan semangat gotong royong, teman-teman pendamping dan petugas BAPPEDA membantuku menaiki tangga. Ada hangat yang menyesak dada, yaitu perhatian, empati, dan ketulusan mereka adalah jalan datar di medan yang curam.
Di Aula Kopi Robusta 1, tempat pertemuan dilangsungkan, deret kursi telah tersusun rapi. Aula itu tak sekadar ruangan, ia punya jiwa. Ia pernah mendengar ratusan diskusi tentang desa, menjadi saksi bisu deretan keputusan penting yang diambil demi masyarakat akar rumput. Dan hari ini, aula itu kembali membuka dirinya, menyambut 255 peserta dari seluruh kecamatan di Bondowoso.
Pukul delapan lebih sedikit, gelombang pertama dimulai. Para operator, unsur kecamatan, Pendamping Desa, beberapa Pendamping Lokal Desa, dan Tenaga Ahli hadir dengan wajah penuh semangat. Aku berdiri di depan, menyapa mereka satu per satu, lalu membuka laptopku yang setia. Sang laptop, teman seperjalanan tugas, kupasangkan pada LCD proyektor, dan layar mulai menyala.
Materi teknis pendataan Indeks Desa Tahun 2025 kusampaikan penuh semangat. Tentang pentingnya akurasi data, prinsip partisipatif, hingga peran desa dalam mewujudkan pembangunan berbasis kebutuhan riil. Setiap kalimatku mengalir, menyentuh sisi paling rasional dan emosional dari peserta. Aku tak hanya ingin mereka paham, tapi juga merasa memiliki misi yang sama, yaitu membangun desa dari data yang jujur.
Dan seperti biasa, kopi hadir. Di atas meja, gelas-gelas berisi cairan hitam pekat mengepul hangat. Ia bukan sekadar minuman. Ia simbol dari budaya diskusi, penanda keakraban, dan saksi dari banyak pemikiran besar yang lahir dari ruangan itu.
Sesi pertama berakhir menjelang tengah hari. Peserta gelombang kedua pun datang satu per satu. Suasana tak kalah hangat. Aku kembali berdiri, kembali menyapa, seakan tak ingin momentum ini cepat berlalu. Di sesi ini, aku tahu dalam hati bahwa setiap kata yang kuucapkan juga menjadi jejak terakhirku secara formal sebagai TAPM Kabupaten Bondowoso.