Ketika suara desa diredam oleh ketidaksiapan birokrasi daerah
Di sebuah desa dataran tinggi di timur Jawa, Pak Kades Lasmono tampak resah. Duduk di teras balai desa, ia menatap tumpukan dokumen yang sudah selesai diisi. "Kami sudah isi kuesioner Indeks Desa dengan bantuan pendamping. Tapi sampai sekarang, belum ada verifikasi dari kecamatan. Kalau ini molor terus, kami nggak bisa bersuara di perencanaan kabupaten nanti," gumamnya pada seorang perangkat desa muda.
Lasmono bukan satu-satunya kepala desa yang merasa terpinggirkan dalam proses pembangunan daerah. Banyak kepala desa di pelosok negeri yang sebenarnya siap menyuarakan kebutuhan warganya melalui data. Tapi ketika sistem verifikasi dan unggah data diabaikan oleh struktur di atasnya, suara-suara itu hilang di tengah bisingnya birokrasi.
Indeks Desa dan Dosa Struktural Pemda
Indeks Desa bukan sekadar kumpulan angka. Ia adalah cermin kualitas hidup masyarakat di tingkat paling bawah. Pemerintah Pusat bahkan telah menetapkan bahwa indikator "Persentase Desa Mandiri" menjadi bagian dari penyelarasan RPJMN dengan RPJMD periode 2025--2029.
Namun ironisnya, banyak Pemerintah Daerah belum benar-benar memahami pentingnya data ini. Ketika Surat Edaran Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan bernomor B-154/PDP.03.04/V/2025 menginstruksikan agar data Indeks Desa diunggah paling lambat 30 Juni 2025, banyak Pemda justru belum bergerak. Bukan karena tidak tahu, tapi karena menganggap data desa bukan urusan strategis.
Padahal keterlambatan itu sangat fatal. Tanpa data terkini dari desa-desa, RPJMD yang disusun Pemda akan kehilangan landasan empiris. Ia hanya jadi dokumen teknokratik yang disusun dari balik meja kantor, bukan dari denyut kehidupan rakyat di desa-desa yang paling sunyi.
Hal yang lebih memprihatinkan, pola ini bukan baru terjadi sekarang. Sejak tahun 2016, data dan rekomendasi hasil pendataan IDM, termasuk klasifikasi prioritas dan super prioritas justru sering tak dimanfaatkan dalam penyusunan RPJMD provinsi maupun kabupaten/kota. Rekomendasi berbasis realitas desa dibiarkan mengendap pada sistem, tanpa menjadi bagian dari arah pembangunan daerah.
Dan karena itulah, banyak Pemerintah Desa pun ikut "meniru". Mereka tidak lagi menjadikan rekomendasi prioritas dan super prioritas skala desa dari IDM sebagai dasar penyusunan RPJM Desa maupun RKP Desa. Apa yang dilakukan di atas, ditiru di bawah. Sistem kehilangan daya edukatifnya. Hierarki birokrasi berubah menjadi hierarki ketidakpedulian.
Kota Bersinar, Desa Tertinggal dari Kertas Perencanaan
Sudah terlalu lama perencanaan pembangunan daerah bias kota. Jalan utama diperlebar, taman kota dipercantik, namun akses air bersih dan irigasi pertanian desa tetap tertinggal. Ketika desa tidak masuk dalam sistem data yang disebabkan bukan karena desa malas, tetapi karena jalur koordinasi Pemda yang lamban maka pembangunan pun menjadi timpang.
Pemerintah Desa sering didorong untuk cepat, tanggap, dan tertib administrasi. Tapi bagaimana mereka bisa memenuhi itu semua jika sistem verifikasi tidak berjalan? Ketika Camat tak menginstruksikan, Bappeda tak memfasilitasi, dan Dinas PMD hanya jadi pengawas pasif, maka yang gagal bukan desa tapi negara.