Mohon tunggu...
Akhmad Fourzan Arif Hadi P
Akhmad Fourzan Arif Hadi P Mohon Tunggu... Profesi saya sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada Kemendesa PDT

Saya adalah seorang pria disabilitas daksa yang memiliki kegemaran berkelana, berdiskusi, dan tentu saja ngopi di berbagai kedai formal (seminar, workshop, dan ruang-ruang diskusi lainnya) serta kedai non formal. Urusan menulis artikel tidak begitu mahir. Nama panggilan saya adalah ITONG.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah Penilaian Berkinerja Baik Sudah Adil Bagi Desa Tertinggal? #KompasianaDESA

29 Mei 2025   16:36 Diperbarui: 29 Mei 2025   16:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Moderator dan Panelis pada Acara Sosialisasi dan Bimtek Penilaian Desa Berkinerja Baik (Sumber: Youtube Dtjend PDP)

Pada 27 Mei 2025, saya mengikuti kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis penilaian desa berkinerja baik dalam konvergensi penurunan stunting yang diselenggarakan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Acara ini menghadirkan berbagai narasumber dari lintas kementerian dan lembaga. Isu yang diangkat sangat krusial yang berkaitan dengan tata cara mengukur, menilai, dan mengapresiasi desa-desa yang dianggap berhasil dalam mempercepat penurunan stunting.

Namun di tengah narasi apresiasi dan semangat "membentuk desa-desa unggulan", saya justru dihantui oleh pertanyaan mendasar dalam aspek keadilan. Apakah sistem penilaian ini sudah adil bagi desa-desa yang tertinggal?

Desa Tidak Sama, Lalu Mengapa Dinilai dengan Ukuran yang Sama?

Desa-desa di Indonesia sangat beragam. Ada desa yang sudah memiliki akses air bersih, tenaga kesehatan, kader posyandu yang aktif, dan infrastruktur memadai. Tapi ada pula desa yang bahkan untuk mencapai puskesmas saja harus melewati perkebunan yang jalannya berlubang dan menyeberangi sungai tanpa jembatan karena berada di kawasan hutan.

Penilaian "berkinerja baik" dalam konteks konvergensi stunting mestinya tidak semata-mata mengukur hasil akhir yang berupa ketersediaan anggaran desa untuk stunting, berjalannya rembuk stunting, dan cakupan layanan konvergensi mencapai target. Penilaian itu harus menimbang posisi awal masing-masing desa. Jika desa yang tertinggal dan desa yang sudah maju dinilai dengan standar yang sama, maka kita sedang mereproduksi ketidakadilan struktural.

Mengapa Indeks Desa Menjadi Kunci?

Di sinilah pentingnya Indeks Desa (ID) yang kini sedang dikembangkan oleh Kemendesa PDT bersama beberapa kementerian/ lembaga. Indeks ini tidak hanya mengukur kinerja sektoral, tapi juga menilai daya dukung struktural sebuah desa seperti kondisi wilayah, tingkat kesejahteraan masyarakat, akses layanan dasar, hingga kapasitas sosial dan kelembagaan lokal.

Dalam konteks penilaian desa berkinerja baik, ID semestinya digunakan sebagai instrumen penyeimbang dan korektif. Misalnya, sebuah desa dengan status sangat tertinggal tetapi berhasil membentuk TPPS, menyelenggarakan rembuk stunting, dan melibatkan kader lokal secara aktif, mestinya mendapatkan bobot penilaian lebih tinggi dibanding desa maju yang hanya melakukan kewajiban formal administratif.

Artinya, semangat keadilan perlu hadir dalam metodologi penilaian. Jika tidak, maka sistem ini justru akan terus-menerus memberi penghargaan pada desa-desa yang sudah relatif kuat, dan melupakan desa-desa yang tengah berjuang dari ketertinggalan.

Antara Penghargaan dan Penguatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun