Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Fly Over

23 Januari 2017   14:38 Diperbarui: 23 Januari 2017   19:35 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Wikimedia Commons

Kau selalu berdiri menantiku di sana. Di bawah fly over yang mengangkangi tanah permainan kita semasa kanak-kanak. Kini pohon pisang, rimbun semak, dan ubi menjelma menjadi tiang-tiang beton yang muram. Meski begitu, senyum itu masih lebih hangat daripada secangkir teh buatanmu yang selalu kurindukan.

“Aku pulang.” Singkat saja kalimat dariku ketika kau menyuguhkan sambutan yang ramah. Aku sungguh tak tahu harus berkata apa, pun bertanya mengapa kau setia menanti seseorang yang pulang dan perginya sukar untuk ditebak. Adakalanya, kedatanganku akhirnya menjadi beban, manakala kau dan kepasrahan yang kau miliki menimbulkan rasa bersalah yang menyusupi relung hatiku.

“Terima kasih...” Kau mengatakannya dengan sorot mata berbinar, menggamit lenganku tanpa ragu dan mengajakku meninggalkan fly over. Kita berjalan beriringan menuju angkutan umum dengan lagak sepasang kekasih yang lama tak bertemu.

Sekilas aku melirikmu. Gadis kampung berparas semanis madu. Lenggak-lenggokmu bagaikan aliran sungai berbatu yang berliku di sepanjang belakang rumah kita. Dulu. Sekarang sampah menjajah sungai itu hingga kering tak bersisa. Rumah-rumah berhalaman luas dan tanah kosong menjelma menjadi deretan rumah “satu dinding”. Baru kusadari, kau tak seharusnya disebut gadis kampung, karena kampung tempat  kita dibesarkan telah menjadi bagian dari kota.

“Masih sering membantu Emak?” Sejak lama aku telah menjadi bagian dari keluargamu. Emakmu adalah ibu bagiku. Dia berjasa membantu biayaku hingga pergi merantau. Kalau bukan karena keluargamu, entah bagaimana aku yang sebatang kara bisa bertahan hidup dan sekolah.

“Emak sekarang sakit-sakitan. Aku yang mengurus ladang. Cuma sepetak yang tersisa, selebihnya sudah habis dijual,” tuturmu sendu. Kau lalu mengajakku naik ke angkutan umum yang berhenti dan menanti kita. Angkutan tua itu berjalan terseok di atas aspal yang berlubang-lubang pada sisi kiri dan kanannya.

“Begitu rupanya.” Aku menarik nafas panjang. Kesulitan hidup ternyata bukan hanya milik mereka yang berada di tanah perantauan. Kampung halaman juga mempunyai cerita yang sama.

Angkutan mengerem mendadak. Kau terlempar ke arahku. Lengan kananku segera melingkari tubuhmu. Rambutmu berada tepat di bawah hidungku. Aku menghidu aroma lembut. Saat kau menengadah, rona merah menghiasi parasmu yang tak tersentuh riasan. Kau terburu-buru menjauhkan diri sambil memohon maaf berkali-kali.

Hatiku berdebur laksana ombak. Pesonamu belum jua berkurang. Andai saja perjalanan ini berakhir lama, sehingga aku bisa terus duduk berdampingan denganmu―gadis yang terus berkelana dalam mimpi-mimpiku. Sayangnya, aku tak kuasa menahan laju pelan angkutan umum. Kita tiba terlalu cepat.

“Mari turun,” ajakmu setengah tersipu. Mungkin kau masih mengenang bekas lengan kananku yang tertinggal di tubuhmu.

“Ah, ya...” Aku lantas turun dan mengekorimu dari belakang. Supir angkutan memanggil. Kita lupa membayar ongkos. Aku bergegas merogoh recehan di saku kemejaku. Untunglah, jumlahnya pas. Enam ribu rupiah. Supir angkutan itu juga membutuhkannya untuk melanjutkan hidup, seperti halnya kita.

“Jadi, mengapa kau pulang?” Kau bertanya malu-malu sambil menyisipkan sehelai rambut di belakang telinga.

“Aku rindu rumah.” Aku menjawab pendek saja lalu bersiul-siul resah. Karena jika aku tak salah ingat, setelah ini kau akan bertanya tentang hal yang sama. Padahal, pertanyaan itu adalah hal yang paling ingin kuhindari saat ini.

“Tak ada siapa pun di sana. Kupikir, kali ini kau pulang untuk melamarku. Emmm... kau akan melamarku, iya kan?” Kau terlihat ragu-ragu.

Siulanku terhenti. Pertanyaan itu sungguh menyesakkan dada. Kau belum juga letih menanyakannya, sementara aku tak berdaya untuk menjawabnya. Bukan salahmu, akulah yang menyerah saat bertarung melawan kesulitan hidup di tanah perantauan.

“Kapan kau akan mengutarakan niatmu pada Bapak dan Emak?” Kau terus mencecarku dengan harapan melambung. Sesekali, kau berceloteh tentang kisah indah yang kita rajut begitu lama.

Kakiku bergerak menendang kerikil. Kerikil meloncat jauh entah ke mana. Hentikan. Sepotong kata itu meronta-ronta di hatiku. Jika aku benar-benar tak butuh uang dan harus menjual sepetak tanah warisan terakhir, aku takkan pulang. Kau juga tak perlu menungguku di bawah fly over. Seraut wajah di tanah perantauan berkelebat dalam benakku. Perempuan itu telah menyelamatkanku ketika aku tergilas keadaan. Minarti, istriku yang sedang terbaring sakit.

***

TepianDanauMu, 23 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun