“Jadi, mengapa kau pulang?” Kau bertanya malu-malu sambil menyisipkan sehelai rambut di belakang telinga.
“Aku rindu rumah.” Aku menjawab pendek saja lalu bersiul-siul resah. Karena jika aku tak salah ingat, setelah ini kau akan bertanya tentang hal yang sama. Padahal, pertanyaan itu adalah hal yang paling ingin kuhindari saat ini.
“Tak ada siapa pun di sana. Kupikir, kali ini kau pulang untuk melamarku. Emmm... kau akan melamarku, iya kan?” Kau terlihat ragu-ragu.
Siulanku terhenti. Pertanyaan itu sungguh menyesakkan dada. Kau belum juga letih menanyakannya, sementara aku tak berdaya untuk menjawabnya. Bukan salahmu, akulah yang menyerah saat bertarung melawan kesulitan hidup di tanah perantauan.
“Kapan kau akan mengutarakan niatmu pada Bapak dan Emak?” Kau terus mencecarku dengan harapan melambung. Sesekali, kau berceloteh tentang kisah indah yang kita rajut begitu lama.
Kakiku bergerak menendang kerikil. Kerikil meloncat jauh entah ke mana. Hentikan. Sepotong kata itu meronta-ronta di hatiku. Jika aku benar-benar tak butuh uang dan harus menjual sepetak tanah warisan terakhir, aku takkan pulang. Kau juga tak perlu menungguku di bawah fly over. Seraut wajah di tanah perantauan berkelebat dalam benakku. Perempuan itu telah menyelamatkanku ketika aku tergilas keadaan. Minarti, istriku yang sedang terbaring sakit.
***
TepianDanauMu, 23 Januari 2017