Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu...

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Salahku Menyukai Dangdut? (Bagian 3 - Tamat)

8 Mei 2010   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar termangu mendengarnya. Lana benar. Entah mengapa seketika itu hatiku begitu tenang dan lega.

"Lu baek banget sih, Na... makasi yaaa," sahutku dengan senyum mengembang, "...tapi tumben, lu kok makin dewasa aja? Curiga gue, pasti lu minjem kata-kata orang yak?"

"Hahaha... tau aja lu....  sebagian besar nyontek dari wejangan suhu Narapati...," timpal Lana mengakui. Kontan kami berdua pun sama-sama tergelak. Aaaah, rasanya sudah lama sekali aku tak tertawa lepas seperti ini....

Malamnya aku merundingkan niatku itu dengan ibu, Bunda Mala dan Paman Irsyad. Syukurnya mereka memberikan sambutan yang positif dan sangat mendukung keinginanku. Sejak itu tekadku semakin bulat.

Pada waktu yang telah ditentukan aku pun mengikuti audisi kontes tersebut. Setelah terpilih, aku bersama beberapa peserta lain harus dikarantina di sebuah hotel. Aku begitu menikmati masa-masa karantina itu karena aku bisa banyak belajar ilmu baru dari para profesional dan menemukan teman-teman baru yang kuanggap seperti keluarga sendiri. Bahkan ketika satu persatu teman-temanku tereliminasi, ada rasa sedih yang menyeruak di dada. Apalagi kejenuhan mulai melanda karena kami sudah berminggu-minggu berada di karantina. Namun seperti itulah kompetisi, ada yang bertahan, ada pula yang harus pergi. Syukurnya ada pula hal-hal yang membuatku bersemangat kembali. Yaitu ketika mendapat kabar kalau ayah telah sadar dari koma pada saat aku diputuskan memasuki tahap semifinal. Aku benar-benar berterima kasih pada Tuhan atas semua anugerah-Nya.

Malam itu, malam grand final kontes dangdut remaja yang mendapat animo cukup besar dari seluruh pemirsa televisi di negara ini, diselenggarakan di Hall sebuah hotel berbintang lima. Aku berusaha menampilkan yang terbaik di atas panggung bersorot cahaya benderang dan menyanyi diiringi oleh sebuah big band ternama. Di depan puluhan kamera media, di antara riuh rendahnya antusiasme penonton yang hadir maupun yang menonton di rumah melalui layar kaca, aku bernyanyi dengan segenap jiwaku. Bahagiaku tak dapat terbayarkan oleh apapun ketika aku sempat melihat di barisan terdepan para penonton, hadir senyum bangga ayah - meskipun masih berkursi roda - bersama ibu. Adapula Lana, Bunda Mala, Paman Irsyad dan adik-adikku beserta para keluarga besar dan pendukung setiaku. Tapi... hei! Siapa pria muda yang duduk di sebelah ayah itu? Oh, Mas Nara? Ya Tuhan.... dia juga hadir di sini dan hanya berjarak beberapa meter dariku! Senyumannya semakin membuat hatiku melambung dan membuatku merasa menjadi yang teristimewa malam itu.... Ia memakai jas warna silver, sama seperti warna gaun bermodel draperi yang kukenakan. Nantinya aku baru tahu dari seorang panitia, ternyata gaun ini merupakan kado dari Mas Nara, namun ia meminta agar para panitia merahasiakan siapa pemberinya.

Akhirnya pada malam grand final itu aku keluar sebagai pemenang utama. Terima kasih, Tuhan! Aku benar-benar bahagia... ternyata impianku dan orang-orang yang kucintai kini mulai terwujud. Akulah sang biduan dangdut itu dan aku tak salah memilih jalan ini, tak peduli apapun yang dikatakan orang. Semua hadiah itu kupersembahkan untuk kedua orangtuaku dan seluruh keluarga besarku. Tapi...ups! Aku hampir lupa....  tentu saja sebagian hadiah uang tersebut segera kusisihkan juga untuk zakat dan membayar utang keluargaku pada Mas Nara, beberapa hari kemudian.

Mas Nara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mau tak mau, ia terpaksa menerima sejumlah uang itu dariku.

"Ya sudah, aku terima....," ucap Mas Nara sambil tersenyum, "...dan berarti sekarang uang ini sudah menjadi hakku dan bisa kupergunakan sesuka hatiku kan?"

[caption id="attachment_136006" align="alignright" width="300" caption="(ilustrasi : myniceprofile.com)"][/caption]

Aku mengangguk sambil membalas senyum manis itu, walau sedikit tak mengerti kemana arah pembicaraannya. Pokoknya aku sudah mengucapkan terima kasih yang tulus padanya tadi sebelum menyerahkan uang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun