Wajah yang damai dan tenang, seperti sedang tertidur pulas. Napasnya begitu teratur meski harus dibantu oleh alat bantu pernapasan.... Selang-selang berseliweran ditubuhnya yang kaku di atas pembaringan kamar ICU. Ayah koma...
Melihatnya dalam kondisi seperti itu aku hanya mampu menangis.... menangis.... dan menangis. Ayah kini terbaring tak berdaya, bukan seperti ayah yang kukenal selama ini - yang begitu aktif dan seperti tak mengenal kata lelah. Aku benar-benar merasa berdosa padanya. Aku menyadari, aku punya andil besar terhadap serangan stroke yang menimpa ayah kemarin siang. Kepergianku dari rumah dan keputusanku untuk keluar dari grup OM sekaligus tak ingin bersentuhan lagi dengan dangdut, pasti telah menjadi buah pikiran ayah berhari-hari sebelum kejadian ini. Maka itu, rasa sesal membuatku terus ingin bertahan di sisinya, terus berdoa untuknya. Ibu dan Bunda Mala tampak cemas melihat kondisiku dan membujukku agar mau kembali ke rumah. Tapi aku benar-benar tak mau.... bahkan beristirahat sejenak pun aku tak ingin....
[caption id="attachment_136003" align="alignleft" width="138" caption="Seandainya masih bisa, ingin kupersembahkan bunga ini untuk ayah... (ilustrasi : mynicespace.com)"][/caption]
Kemarin siang, selepas Bunda Mala mengabarkan kondisi ayah, aku benar-benar shock. Mas Nara dengan tanggapnya segera mengantarku menemui ayah yang sudah di bawa ke rumah sakit. Ternyata di rumah sakit telah berkumpul Ibu dan adik kembarku - Arda dan Ardi. Kupeluk mereka erat dengan tangis yang tak mampu kubendung lagi. Semua perasaan kutumpahkan saat itu. Bunda Mala dan Paman Irsyad berusaha menenangkan kami. Lana dan mamanya pun menyusul hadir di sana, memberikan support apapun yang mereka bisa. Sedikit demi sedikit aku sudah merasa lebih tenang. Apalagi melihat ibu yang mampu meredam gejolak hatinya. Padahal aku tahu, selama ini ibu adalah wanita yang cukup sensitif, namun ia berusaha tetap kelihatan tegar di hadapan anak-anaknya.
Entah karena kelelahan dengan berbagai peristiwa yang terjadi, aku pun tertidur pulas malam tadi. Tapi ternyata pada saat itulah Mas Nara dan Lana leluasa berbincang dengan ibu. Mas Nara berinisiatif membantu keluargaku untuk membiayai pengobatan ayah secara keseluruhan. Mulanya ibu menolak, namun karena Lana mampu meyakinkan ibu bahwa niat Mas Nara begitu tulus dan ikhlas, ibu akhirnya luluh juga. Karena tak dapat dipungkiri, kami memang sangat membutuhkan banyak uang untuk pengobatan ayah. Ibu pun menerima kebaikan Mas Nara itu dengan persyaratan bahwa pemberian itu dianggap ibu sebagai utang. Mas Nara jelas keberatan, namun karena ibu bersikeras tak ingin menerimanya secara cuma-cuma, akhirnya ia menyerah. Ibu pun meminta waktu untuk menyicil pembayarannya.
Semua itu kuketahui dari ibu setelah aku terjaga pagi tadi. Beliau tahu, aku pasti tak akan menyetujuinya, namun ibu berusaha menjelaskan sejujur-jujurnya tentang kondisi ayah yang harus segera mendapatkan penanganan yang lebih intensif dan memerlukan biaya yang tidak sedikit pula. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, karena saat ini kami memang dalam posisi yang sulit, namun tak elok rasanya kalau tanggungjawab itu harus diserahkan pada Mas Nara yang baru saja kami kenal dan merepotkan orang lain. Jujur, aku malu, sangat malu..... namun demi ayah, kami harus siap menebalkan muka.
Sebenarnya aku ingin sekali meminta maaf pada Mas Nara, karena sudah cukup banyak merepotkannya. Tetapi aku juga ingin mengucapkan rasa terima kasihku, karena berkat kerelaan hatinya, ia telah meringankan beban keluargaku. Sayangnya, malam itu juga, ia harus segera berangkat kembali ke Australia. Ia baru mendapatkan kabar tentang meninggalnya Profesor Smith, pembimbing tesisnya dulu yang sudah dianggapnya sebagai ayah sendiri. Ia meminta maaf melalui Lana karena tak bisa berpamitan secara langsung denganku. Aaah, mengapa dia bisa begitu baik pada kami sedang kami tak tahu bagaimana cara membalas kebaikannya?
Sekarang yang menjadi tugas keluargaku adalah mencari uang untuk membayar utang kami pada Mas Nara. Ibu memintaku untuk tak perlu ikut memikirkannya. Tapi itu mustahil, karena sebagai anak sulung, aku merasa wajib membantu meringankan beban orangtuaku. Apalagi otomatis ibu tak bisa lagi bekerja full time karena harus bergantian menjaga ayah bila aku pergi ke sekolah. Untungnya Arda dan Ardi bisa dititipkan pada Keluarga Bunda Mala dan Paman Irsyad, sehingga mereka tak merasa teracuhkan. Kasihan sekali adik-adikku itu.... Mereka tidak boleh merasakan kekalutan yang sedang aku dan ibu rasakan...
Ditengah-tengah kebingunganku untuk melunasi utang keluargaku, pada suatu siang yang terik, Lana - yang ingin mengantarku kembali ke rumah sakit - menemukan sebuah pamflet secara tak sengaja, sesaat setelah kami keluar dari gerbang sekolah. Sepertinya kertas itu diterbangkan angin hingga tergeletak di dekat pintu mobilnya. Lana menunjukkannya padaku. Pamflet itu merupakan pengumuman tentang audisi kontes dangdut remaja yang ditayangkan sebuah televisi nasional. Hadiahnya pun cukup menggiurkan. Bagi pemenang utamanya, tersedia uang puluhan juta rupiah, sebuah rumah mewah dan mendapat kesempatan menjadi penyanyi dangdut profesional dengan rekaman di sebuah label ternama di negeri ini. Ya Tuhan..., inikah jawaban dari doa-doaku dan ibuku? Tapi entah mengapa aku merasa tak pantas... Bukankah kemarin aku sudah bertekad akan meninggalkan dunia dangdut dengan melepaskan diri dari grup OM ayah? Apa aku harus menjilat ludahku sendiri?
Lana seperti menyadari kegalauanku. Ia melihat sendiri, tanpa sadar tanganku sedikit meremas kertas pamflet tersebut dengan tatapan kosong.
"Zakia..., gue yakin lu mampu! Soal keputusan lu menghindari dangdut, menurut gue, hanya sebuah keputusan yang emosional, karena waktu itu lu lelah diejek dan dihina oleh teman-teman sekolah. Dangdut sudah jadi dunia lu sejak lahir dan lu menikmatinya kan? Lalu kenapa harus peduli dengan cemoohan mereka? Lu adalah diri lu sendiri, Ki. Orang lain gak akan bisa memaksakan kesenangan pribadinya pada diri lu. Seharusnya mereka yang harus bisa belajar untuk menghargai segala perbedaan itu. Lu harus mengembalikan kepercayaan diri lu lagi, Ki, seperti Zakia yang gue kenal dulu. Supaya lu bisa buat orang tua lu bangga....," ucap Lana sambil tetap berkonsentrasi di belakang kemudi.
Aku benar-benar termangu mendengarnya. Lana benar. Entah mengapa seketika itu hatiku begitu tenang dan lega.
"Lu baek banget sih, Na... makasi yaaa," sahutku dengan senyum mengembang, "...tapi tumben, lu kok makin dewasa aja? Curiga gue, pasti lu minjem kata-kata orang yak?"
"Hahaha... tau aja lu.... sebagian besar nyontek dari wejangan suhu Narapati...," timpal Lana mengakui. Kontan kami berdua pun sama-sama tergelak. Aaaah, rasanya sudah lama sekali aku tak tertawa lepas seperti ini....
Malamnya aku merundingkan niatku itu dengan ibu, Bunda Mala dan Paman Irsyad. Syukurnya mereka memberikan sambutan yang positif dan sangat mendukung keinginanku. Sejak itu tekadku semakin bulat.
Pada waktu yang telah ditentukan aku pun mengikuti audisi kontes tersebut. Setelah terpilih, aku bersama beberapa peserta lain harus dikarantina di sebuah hotel. Aku begitu menikmati masa-masa karantina itu karena aku bisa banyak belajar ilmu baru dari para profesional dan menemukan teman-teman baru yang kuanggap seperti keluarga sendiri. Bahkan ketika satu persatu teman-temanku tereliminasi, ada rasa sedih yang menyeruak di dada. Apalagi kejenuhan mulai melanda karena kami sudah berminggu-minggu berada di karantina. Namun seperti itulah kompetisi, ada yang bertahan, ada pula yang harus pergi. Syukurnya ada pula hal-hal yang membuatku bersemangat kembali. Yaitu ketika mendapat kabar kalau ayah telah sadar dari koma pada saat aku diputuskan memasuki tahap semifinal. Aku benar-benar berterima kasih pada Tuhan atas semua anugerah-Nya.
Malam itu, malam grand final kontes dangdut remaja yang mendapat animo cukup besar dari seluruh pemirsa televisi di negara ini, diselenggarakan di Hall sebuah hotel berbintang lima. Aku berusaha menampilkan yang terbaik di atas panggung bersorot cahaya benderang dan menyanyi diiringi oleh sebuah big band ternama. Di depan puluhan kamera media, di antara riuh rendahnya antusiasme penonton yang hadir maupun yang menonton di rumah melalui layar kaca, aku bernyanyi dengan segenap jiwaku. Bahagiaku tak dapat terbayarkan oleh apapun ketika aku sempat melihat di barisan terdepan para penonton, hadir senyum bangga ayah - meskipun masih berkursi roda - bersama ibu. Adapula Lana, Bunda Mala, Paman Irsyad dan adik-adikku beserta para keluarga besar dan pendukung setiaku. Tapi... hei! Siapa pria muda yang duduk di sebelah ayah itu? Oh, Mas Nara? Ya Tuhan.... dia juga hadir di sini dan hanya berjarak beberapa meter dariku! Senyumannya semakin membuat hatiku melambung dan membuatku merasa menjadi yang teristimewa malam itu.... Ia memakai jas warna silver, sama seperti warna gaun bermodel draperi yang kukenakan. Nantinya aku baru tahu dari seorang panitia, ternyata gaun ini merupakan kado dari Mas Nara, namun ia meminta agar para panitia merahasiakan siapa pemberinya.
Akhirnya pada malam grand final itu aku keluar sebagai pemenang utama. Terima kasih, Tuhan! Aku benar-benar bahagia... ternyata impianku dan orang-orang yang kucintai kini mulai terwujud. Akulah sang biduan dangdut itu dan aku tak salah memilih jalan ini, tak peduli apapun yang dikatakan orang. Semua hadiah itu kupersembahkan untuk kedua orangtuaku dan seluruh keluarga besarku. Tapi...ups! Aku hampir lupa.... tentu saja sebagian hadiah uang tersebut segera kusisihkan juga untuk zakat dan membayar utang keluargaku pada Mas Nara, beberapa hari kemudian.
Mas Nara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mau tak mau, ia terpaksa menerima sejumlah uang itu dariku.
"Ya sudah, aku terima....," ucap Mas Nara sambil tersenyum, "...dan berarti sekarang uang ini sudah menjadi hakku dan bisa kupergunakan sesuka hatiku kan?"
[caption id="attachment_136006" align="alignright" width="300" caption="(ilustrasi : myniceprofile.com)"][/caption]
Aku mengangguk sambil membalas senyum manis itu, walau sedikit tak mengerti kemana arah pembicaraannya. Pokoknya aku sudah mengucapkan terima kasih yang tulus padanya tadi sebelum menyerahkan uang tersebut.
"Oke, sekarang... ayo, ikut aku ke bank!" Mas Nara langsung menggamit jemariku tanpa aba-aba, kontan saja aku terkejut sekali dibuatnya. Ia membawaku mendekati mobilnya.
"Lho, emang kita mo ngapain sih, Mas, buru-buru ke bank?" tanyaku sedikit sewot.
"Mau buka rekening tabungan untuk kamu... Supaya kamu gak boros-boros lagi...," jawab Mas Nara sekenanya.
"Whatttt????"
***
- TAMAT -
Alhamdulilah, akhirnya selesai juga cerbung ini. Makasiiii banget atas apresiasi dan kesetiaan teman-teman yang sudah mengikuti alur ceritanya hingga akhir. Maafkan seandainya tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena bagaimanapun aku masih akan terus belajar dan belajar. Doakan aku semoga bisa menghasilkan karya yang lebih baik lagi ke depannya.... Salam Kompasiana!
Bila teman-teman belum sempat membaca kisah-kisah sebelumnya bisa klik di sini (Bagian 1) dan di sini (Bagian 2)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
