Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu...

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Salahku Menyukai Dangdut? (Bagian 3 - Tamat)

8 Mei 2010   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah yang damai dan tenang, seperti sedang tertidur pulas. Napasnya begitu teratur meski harus dibantu oleh alat bantu pernapasan.... Selang-selang berseliweran ditubuhnya yang kaku di atas pembaringan kamar ICU.  Ayah koma...

Melihatnya dalam kondisi seperti itu aku hanya mampu menangis.... menangis.... dan menangis. Ayah kini terbaring tak berdaya, bukan seperti ayah yang kukenal selama ini - yang begitu aktif dan seperti tak mengenal kata lelah. Aku benar-benar merasa berdosa padanya. Aku menyadari, aku punya andil besar terhadap serangan stroke yang menimpa ayah kemarin siang. Kepergianku dari rumah dan keputusanku untuk keluar dari grup OM sekaligus tak ingin bersentuhan lagi dengan dangdut,  pasti telah menjadi buah pikiran ayah berhari-hari sebelum kejadian ini. Maka itu, rasa sesal membuatku terus ingin bertahan di sisinya, terus berdoa untuknya. Ibu dan Bunda Mala tampak cemas melihat kondisiku dan membujukku agar mau kembali ke rumah. Tapi aku benar-benar tak mau....  bahkan beristirahat sejenak pun aku tak ingin....

[caption id="attachment_136003" align="alignleft" width="138" caption="Seandainya masih bisa, ingin kupersembahkan bunga ini untuk ayah... (ilustrasi : mynicespace.com)"][/caption]

Kemarin siang, selepas Bunda Mala mengabarkan kondisi ayah, aku benar-benar shock. Mas Nara dengan tanggapnya segera mengantarku menemui ayah yang sudah di bawa ke rumah sakit. Ternyata di rumah sakit telah berkumpul Ibu dan adik kembarku - Arda dan Ardi. Kupeluk mereka erat dengan tangis yang tak mampu kubendung lagi. Semua perasaan kutumpahkan saat  itu. Bunda Mala dan Paman Irsyad berusaha menenangkan kami. Lana dan mamanya pun menyusul hadir di sana, memberikan support apapun yang mereka bisa. Sedikit demi sedikit aku sudah merasa lebih tenang. Apalagi melihat ibu yang mampu meredam gejolak hatinya. Padahal aku tahu, selama ini ibu adalah wanita yang cukup sensitif, namun ia berusaha tetap kelihatan tegar di hadapan anak-anaknya.

Entah karena kelelahan dengan berbagai peristiwa yang terjadi, aku pun tertidur pulas malam tadi. Tapi ternyata pada saat itulah Mas Nara dan Lana leluasa berbincang dengan ibu. Mas Nara berinisiatif membantu keluargaku untuk membiayai pengobatan ayah secara keseluruhan. Mulanya ibu menolak, namun karena Lana mampu meyakinkan ibu bahwa niat Mas Nara begitu tulus dan ikhlas, ibu akhirnya luluh juga. Karena tak dapat dipungkiri, kami memang sangat membutuhkan banyak uang untuk pengobatan ayah. Ibu pun menerima kebaikan Mas Nara itu dengan persyaratan bahwa pemberian itu dianggap ibu sebagai utang. Mas Nara jelas keberatan, namun karena ibu bersikeras tak ingin menerimanya secara cuma-cuma, akhirnya ia menyerah. Ibu pun meminta waktu untuk menyicil pembayarannya.

Semua itu kuketahui dari ibu setelah aku terjaga pagi tadi. Beliau tahu, aku pasti tak akan menyetujuinya, namun ibu berusaha menjelaskan sejujur-jujurnya tentang kondisi ayah yang harus  segera mendapatkan penanganan yang lebih intensif dan memerlukan biaya yang tidak sedikit pula. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, karena saat ini kami memang dalam posisi yang sulit, namun tak elok rasanya kalau tanggungjawab itu harus diserahkan pada Mas Nara yang baru saja kami kenal dan merepotkan orang lain. Jujur, aku malu, sangat malu..... namun demi ayah, kami harus siap menebalkan muka.

Sebenarnya aku ingin sekali meminta maaf pada Mas Nara, karena sudah cukup banyak merepotkannya. Tetapi aku juga ingin mengucapkan rasa terima kasihku, karena berkat kerelaan hatinya, ia telah meringankan beban keluargaku. Sayangnya, malam  itu juga, ia harus segera berangkat kembali ke Australia. Ia baru mendapatkan kabar tentang meninggalnya Profesor Smith, pembimbing tesisnya dulu yang sudah dianggapnya sebagai ayah sendiri. Ia meminta maaf melalui Lana karena tak bisa berpamitan secara langsung denganku. Aaah, mengapa dia bisa begitu baik pada kami sedang kami tak tahu bagaimana cara membalas kebaikannya?

Sekarang yang menjadi tugas keluargaku adalah mencari uang untuk membayar utang kami pada Mas Nara. Ibu memintaku untuk tak perlu ikut memikirkannya. Tapi itu mustahil, karena sebagai anak sulung, aku merasa wajib membantu meringankan beban orangtuaku. Apalagi otomatis ibu tak bisa lagi bekerja full time karena harus bergantian menjaga ayah bila aku pergi ke sekolah. Untungnya Arda dan Ardi bisa dititipkan pada Keluarga Bunda Mala dan Paman Irsyad, sehingga mereka tak merasa teracuhkan. Kasihan sekali adik-adikku itu.... Mereka tidak boleh merasakan kekalutan yang sedang aku dan ibu rasakan...

Ditengah-tengah kebingunganku untuk melunasi utang keluargaku, pada suatu siang yang terik,  Lana - yang ingin mengantarku kembali ke rumah sakit - menemukan sebuah pamflet secara tak sengaja, sesaat setelah kami keluar dari gerbang sekolah. Sepertinya kertas itu diterbangkan angin hingga tergeletak di dekat pintu mobilnya. Lana menunjukkannya padaku. Pamflet itu merupakan pengumuman tentang audisi kontes dangdut remaja yang ditayangkan sebuah televisi nasional. Hadiahnya pun cukup menggiurkan. Bagi pemenang utamanya, tersedia uang puluhan juta rupiah, sebuah rumah mewah dan mendapat kesempatan menjadi penyanyi dangdut profesional  dengan rekaman di sebuah label ternama di negeri ini. Ya Tuhan..., inikah jawaban dari doa-doaku dan ibuku? Tapi entah mengapa aku merasa tak pantas...  Bukankah kemarin aku sudah bertekad akan meninggalkan dunia dangdut dengan melepaskan diri dari grup OM ayah? Apa aku harus menjilat ludahku sendiri?

Lana seperti menyadari kegalauanku. Ia melihat sendiri, tanpa sadar tanganku sedikit meremas kertas pamflet tersebut dengan tatapan kosong.

"Zakia..., gue yakin lu mampu! Soal keputusan lu menghindari dangdut, menurut gue, hanya sebuah keputusan yang emosional, karena waktu itu lu lelah diejek dan dihina oleh teman-teman sekolah. Dangdut sudah jadi dunia lu sejak lahir dan lu menikmatinya kan? Lalu kenapa harus peduli dengan cemoohan mereka? Lu adalah diri lu sendiri, Ki. Orang lain gak akan bisa memaksakan kesenangan pribadinya pada diri lu. Seharusnya mereka yang harus bisa belajar untuk menghargai segala perbedaan itu. Lu harus mengembalikan kepercayaan diri lu lagi, Ki, seperti Zakia yang gue kenal dulu. Supaya lu bisa buat orang tua lu bangga....," ucap Lana sambil tetap berkonsentrasi di belakang kemudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun