Biji-bji kopi itu menumpuk dalam karung-karung yang diletakkan begitu saja di lantai toko tersebut. PosisinyA tidak beraturan. Malah adaa juga biji-biji kopi yang dikemas dalam kantung plastik bening dengan ukuran besar.
Pembeli bisa membeli kopi di toko tersebut, berupa biji dan juga bubuk kopi yang digiling, bisa giling kasar dan giling halus. Jumlah minimal kopi yang bisa dibeli adalah 250 gr.
Harga kopi Arabica yang paling mahal di toko ini adalah Kopi Wamena seharga Rp 360 ribu per kg nya. Lalu disusul Kopi Gayo seharga Rp 300 ribu per kg.
Sedangkan kopi Robusta yang paling mahal di toko ini adalah Kopi Liwa dan Dampit, masing-masing seharga Rp 220 ribu. Liwa itu nama daerah di pesisir barat Lampung. Sedang Dampit adalah nama daerah di Kabupaten Malang. Tadinya saya pikir Dampit nya itu Dampit Cicalengka yang berada di Kabupaten Bandung (dekat Nagreg).
Saat saya minta kopi digiling halus, saya paling suka saat biji kopi dimasukkan ke dalam mesin penggilingan (grinder) kopi yang umurnya lebih tua dari Chandra (sekitar 50 tahun). Saat terdengar bunyi berisik mesin yang menggiling biji kopi, lalu menumpahkannya menjadi bubuk kopi, saya mencium aroma kopi yang sangat aduhai nikmat.
Ada 2 mesin penggilingan kopi di toko itu. Sangat kuno. Sangat jadul. Mesin itu bekerja mekanis dengan digerakkan oleh tenaga listrik. Saat mesin selesai menggiling biji kopi, Chandra akan memukul-mukul bagian kepala dan leher mesin itu. Setelah dipukul, remah-remah bubuk kopi yang tersangkut akan meluncur turun ke baki penampungan kopi.
Kopi Arabica yang saya pernah beli adalah dari Lembang dan Ciwidey. Namun jarang, karena saya kurang suka yang asam. Kopi asam yang saya suka sebetulnya Kopi Gayo. Saat dulu tinggal di Aceh, pasti pagi, siang, sore dan malam saya selalu minum kopi di warung kopi Aceh.
Saya juga pernah membeli kopi campuran Arabika dan Robusta. Komposisi yang saya pilih, Robusta 70% dan Arabica 30%. Rasanya? Wow .... rasa pahit asam getir berpadu satu, hahahaha. Cukup. Sekali saja.