Hai, Kompasianer!
Hari Jumat kemarin, aku beruntung banget bisa jadi bagian dari acara Kompasiana bareng Kemendikdasmen di Surabaya. Sejujurnya, aku datang dengan ekspektasi standar: mendengarkan pemaparan, catat poin-poin penting, lalu pulang. Tapi, acara bertajuk "Pendidikan Bermutu untuk Semua: Siap Hadapi Tantangan Abad 21" ini berhasil memutar balik dugaanku. Diskusi yang begitu hidup, dari para narasumber yang luar biasa, membuatku menyadari satu hal: pendidikan bermutu itu bukan cuma soal teori di buku, tapi juga soal "rasa" dan kolaborasi.
Acara dimulai dengan sambutan yang hangat dan penuh semangat dari Bapak Praptono, Kepala BBPMP Jawa Timur. Beliau menyambut kami, para Kompasianer, sebagai mitra strategis dalam menyebarkan informasi positif dan membangun narasi yang konstruktif tentang pendidikan. Lalu, ada juga Bapak Anang Ristanto, Kepala Biro Komunikasi dan Humas Kemendikdasmen, dan Bapak Ma'ruf, Staf Khusus Mendikdasmen Bidang Komunikasi dan Media, yang memperkuat pesan tentang sinergi pemerintah dan masyarakat dalam memajukan pendidikan. Aku merasa, ini bukan sekadar acara formal, tapi ajakan nyata untuk kita semua terlibat.
Selama ini, kita mungkin sering melihat pendidikan bermutu hanya dari satu kacamata: kurikulum yang "terbaru," fasilitas sekolah yang "tercanggih," atau nilai rapor yang "tertinggi." Aku jadi teringat obrolan santai bareng teman-teman di Kompasiana. Mereka bilang, anak-anak sekarang butuh lebih dari sekadar hafalan. Mereka butuh kemampuan untuk memecahkan masalah, berinovasi, dan bekerja sama. Itu yang oleh para narasumber disebut dengan kemampuan 4C: Critical Thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication. Ini adalah bekal yang jauh lebih berharga daripada sekadar nilai bagus di mata pelajaran.
Sinergi Tiga Pilar: Pemerintah, Sekolah, dan Kita Semua
Di sesi materi, aku terkesima dengan pemaparan Ibu Rahmawati dari Pusat Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen. Beliau menjelaskan bagaimana asesmen pendidikan sekarang tidak lagi cuma mengukur kemampuan menghafal, tapi juga kemampuan berpikir dan bernalar. Aku jadi membayangkan, ini seperti mengganti "latihan soal" dengan "latihan berpikir". Tujuannya bukan untuk mencetak mesin penghafal, tapi manusia yang punya "akal" dan mampu menghadapi masalah nyata di kehidupan.
Lalu, ada Ibu Fitriana, seorang Guru SDN SukaPura nol satu, yang kisahnya benar-benar menyentuh. Beliau berbagi pengalamannya mengajar dengan hati, membuat proses belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi murid-muridnya. Ibu Fitriana menceritakan bagaimana ia tidak hanya mengajar di kelas, tapi juga berinteraksi dengan anak-anak di luar jam pelajaran, memahami kesulitan mereka, dan membangun hubungan yang dekat. Aku jadi sadar, guru itu bukan cuma "transporter" ilmu, tapi juga "pemantik" semangat dan "pembangun" karakter. Kualitas guru yang berdedikasi adalah kunci utama dari Pendidikan Bermutu Untuk Semua.
Pendidikan bermutu itu rasanya seperti apa, sih? Aku membayangkan, rasanya itu seperti menemukan jawaban soal matematika, bukan dengan rumus yang dihafal mati, tapi dengan cara-cara kreatif yang kita temukan sendiri. Seperti yang dibagikan oleh Ibu Dinnar Tasmulaylisyah, Fasilitator Sidina Community, yang menyoroti pentingnya pendidikan berbasis komunitas. Beliau mengingatkan kita bahwa proses belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tapi juga di lingkungan sekitar. Anak-anak bisa belajar tentang empati dan toleransi dari kegiatan sosial, mereka bisa belajar tentang lingkungan dari kerja bakti membersihkan sungai, dan mereka bisa belajar tentang kewirausahaan dari acara bazar di lingkungan.
Sekolah Bukan Cuma Bangunan, Tapi "Rumah" yang Nyaman
Dan yang paling bikin aku berpikir keras adalah pandangan dari Alexa, seorang Duta SMA Nasional 2025. Sebagai perwakilan generasi muda, ia berbicara dengan jujur tentang apa yang mereka rasakan. Alexa bilang, pendidikan harusnya membuat mereka merasa aman, didengarkan, dan diberi ruang untuk berekspresi. Seringkali, pendidikan formal terlalu fokus pada hasil akhir, dan lupa pada proses yang berharga. Pandangannya benar-benar membuka mata, bahwa pendidikan bermutu itu juga soal menciptakan "rumah" yang nyaman dan aman bagi para siswa, di mana mereka tidak takut untuk salah, berani bertanya, dan bisa menjadi diri mereka sendiri.
Aku jadi merenung, kalau pendidikan bermutu itu adalah sebuah rumah, maka pemerintah adalah arsiteknya, sekolah adalah pembangunnya, dan kita---orang tua, guru, masyarakat---adalah "penghuni" yang harus merawatnya. Kurikulum sehebat apa pun tidak akan jalan kalau guru tidak punya semangat, dan orang tua tidak mau terlibat. Kita tidak bisa hanya mengeluh dari jauh, tapi harus turun tangan.
Masa Depan Indonesia: Dimulai dari Kesadaran Diri Generasi MudaÂ
Di akhir acara, aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa optimisme, tapi juga tanggung jawab. Optimis, karena melihat program-program pemerintah yang berpihak pada kemajuan, seperti pendidikan kokurikuler, pembelajaran berbasis STEM, dan 8 dimensi kelulusan yang jadi acuan evaluasi. Bertanggung jawab, karena aku sadar bahwa perbaikan pendidikan bermutu untuk semua tidak bisa hanya diserahkan pada satu pihak. Ini adalah tugas kolektif kita.
Jika selama ini pendidikan bermutu adalah sebuah janji, maka lewat acara Kompasiana di Surabaya ini, janji itu mulai terasa nyata. Mari kita wujudkan mimpi ini bersama-sama, mulai dari lingkungan terdekat kita. Karena masa depan bangsa ini ada di tangan generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkarakter dan berempati. Mari kita ajak semua orang untuk peduli, karena setiap langkah kecil kita akan menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depan.
Gimana, siap jadi bagian dari perubahan ini? Bagikan ceritamu juga di Kompasiana, ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI