Perlindungan terhadap homogenisasi budaya. Risiko bahwa budaya lokal berubah bentuk drastis agar cocok dengan selera massal yang diatur oleh algoritma sehingga ia dimungkinkan akan kehilangan keaslian, menjadi "kliselokal" yang hanya menjadi "ornamen".
Harapan & Jalan ke Depan
Meski ada tantangan, ada banyak peluang bagi keduanya untuk saling bersinergi. Beberapa langkah konkret yang bisa dijalankan agar budaya lokal tetap kuat di era algoritma global:
-
Kolaborasi kreator lokal & global: Dengan bekerja sama dengan influencer besar, bisa membantu budaya lokal menjangkau audiens yang jauh lebih luas tanpa harus menghilangkan keunikan.
Penggunaan teknologi lokal dalam produksi: Misalnya menggunakan bahasa daerah sebagai narasi utama, musik lokal, gaya budaya setempat dalam visual, yang bisa membedakan kontenmu dari konten global generik.
Pelibatan komunitas: Komunitas lokal bisa aktif merekam adat, cerita, musik, dan mempublikasikannya di media sosial sebagai bentuk "arsip digital". Ini juga bisa menarik minat wisata budaya dan ekonomi kreatif.
Pendidikan & pelatihan: Memberikan akses kepada generasi muda di daerah terpencil agar bisa belajar konten digital, editing video, storytelling, strategi media sosial.
Kebijakan publik yang mendukung: Pemerintah atau lembaga budaya bisa memberi dorongan lewat program, hibah, festival digital, atau platform yang memprioritaskan konten budaya lokal.
Dalam kultur digital yang bergerak cepat ini, bisa dikatakan bahwa algoritma global memang punya keunggulan dalam hal jangkauan, otomatisasi, dan daya tarik massa. Tetapi budaya lokal belum mati, Â ia bertahan, beradaptasi, bahkan berkembang, terutama di tangan kreator yang cerdas dan komunitas yang peduli.
Siapa yang menang? Untuk sekarang, mungkin kultur campuran-lokal-global (hybrid culture) yang menang bukan yang murni lokal atau murni global. Budaya lokal yang fleksibel, kreatif, dan memahami dinamika media sosial punya peluang besar untuk dipertahankan dan disejajarkan dengan tren global.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa algoritma tidaklah musuh, ia dapat menjadi sarana. Budaya lokal yang kalah bukan karena tak layak, melainkan kadang karena kurang strategi, kurang modal, atau kurang dukungan. Jika semua elemen seperti kreator, audiens, institusi bergerak bersama, budaya lokal bukan hanya akan ikut "berjalan" di atas jalur algoritma global, tetapi bisa "memimpin irama".