3. Refleksi Kependidikan atas Masalah yang TerjadiÂ
Fenomena NPC Live mencerminkan minimnya literasi digital dan kultural di kalangan generasi muda. Banyak dari mereka belum mampu membedakan antara ekspresi otentik dan performa algoritmik. Pendidikan di Indonesia, sayangnya, belum responsif terhadap perkembangan budaya digital semacam ini. Hal ini menjadi bukti bahwa kurikulum yang terlalu lama bertumpu pada pendekatan konvensional mulai kehilangan daya sentuhnya terhadap realitas kehidupan sehari-hari anak muda.
Sekolah dan lembaga pendidikan umumnya masih terpaku pada capaian akademik dan belum banyak memberi ruang untuk mengembangkan pemahaman kritis terhadap media, estetika, dan budaya populer. Padahal, anak-anak muda saat ini lebih banyak belajar dari TikTok dan YouTube daripada dari buku teks. Sumber pembentukan nilai dan identitas mereka lebih sering datang dari konten viral dibandingkan dari pelajaran PPKn atau bimbingan konseling. Akibatnya, anak-anak menjadi lebih fasih meniru ekspresi karakter NPC daripada memahami nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, tanggung jawab, atau kesadaran diri.
Selain itu, tidak adanya pendidikan yang kuat tentang nilai diri, batas tubuh, dan ekspresi sehat juga membuat remaja mudah tergoda untuk meniru tren yang mereduksi martabat manusia menjadi sekadar tontonan. NPC Live, dalam konteks ini, bukan hanya masalah hiburan, tetapi juga masalah nilai dan arah pendidikan karakter. Ketika tubuh dijadikan objek yang bisa "dijual" lewat gesture lucu, absurd, atau erotis demi gift digital, maka kita perlu bertanya: sudahkah pendidikan kita membekali anak-anak untuk mencintai, menjaga, dan menghargai tubuh mereka sendiri?
Pendidikan harus mampu membekali siswa dengan kemampuan reflektif dan kritis terhadap budaya digital. Literasi media, etika daring, serta diskusi tentang representasi tubuh dan identitas perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai bagian utama dari pendidikan karakter yang kontekstual dan relevan. Anak-anak perlu dilatih untuk memahami bagaimana algoritma bekerja, mengapa konten tertentu bisa viral, dan bagaimana mereka bisa menjadi pengguna media yang aktif serta sadar.
Guru harus berperan sebagai fasilitator yang tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga mengajak siswa memahami dirinya dan dunia secara utuh. Guru yang mampu berdialog terbuka tentang budaya populer, yang tidak menghakimi tren-tren anak muda, namun mampu mengarahkan mereka untuk berpikir kritis dan reflektif, sangat dibutuhkan saat ini. Sekolah tidak boleh lagi menjadi ruang yang steril dari realitas, tetapi sebaliknya, menjadi ruang yang siap menyambut dinamika dunia digital yang telah menjadi bagian dari keseharian siswa.
Keluarga juga memegang peran penting. Komunikasi terbuka dan pengawasan yang bijak dari orang tua dapat membantu anak-anak menavigasi dunia digital dengan lebih sehat. Alih-alih hanya melarang, orang tua perlu diajak untuk memahami bahasa dan logika dunia digital agar bisa menjadi mitra dialog yang relevan. Ketika seorang anak melakukan tren NPC Live, orang tua tidak cukup hanya mengatakan "jangan", tetapi perlu menanyakan "kenapa", "apa yang kamu rasakan", dan "apa maknanya buat kamu".
Peran orang tua masa kini harus bergeser dari yang semata-mata mengontrol ke arah yang lebih mendampingi. Mereka perlu memahami bahwa dunia digital adalah ruang sosial yang penuh tekanan, tuntutan, dan kompleksitas. Tidak semua anak yang membuat konten aneh melakukannya karena ingin terkenal; sebagian besar hanya ingin didengar, diperhatikan, atau merasa cukup. Maka, pendekatan empatik menjadi sangat penting.
Selain keluarga dan sekolah, pemerintah juga perlu mengambil bagian. Literasi digital belum menjadi program utama dalam banyak kebijakan pendidikan, padahal ini adalah kebutuhan mendesak. Kurikulum Merdeka seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk memasukkan topik-topik ini, termasuk diskusi tentang representasi tubuh, batas privasi digital, serta eksploitasi dalam industri konten. Pemerintah juga perlu menggandeng platform digital untuk turut bertanggung jawab atas konten yang diproduksi, khususnya dalam memberi perlindungan terhadap anak-anak dan remaja.
Pendidikan di abad ke-21 seharusnya tidak lagi berorientasi semata pada kecakapan akademik, tetapi juga pada kecakapan hidup yang utuh. Anak-anak harus dilatih untuk menjadi warga digital yang bertanggung jawab, kreatif namun tetap menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Mereka perlu tahu bahwa mereka berharga bukan karena seberapa viral mereka, tetapi karena mereka adalah manusia yang punya pikiran, perasaan, dan martabat.
NPC Live mungkin hanya salah satu dari sekian banyak fenomena absurd di internet, tetapi ia menyoroti krisis mendalam dalam hal pendidikan nilai, identitas, dan literasi budaya. Maka, solusi jangka panjangnya tidak cukup hanya dengan kampanye moral sesaat, tetapi dengan transformasi mendalam dalam sistem pendidikan, komunikasi keluarga, dan kebijakan publik yang berpihak pada tumbuh-kembang remaja secara utuh.