Dengan demikian, NPC Live bukan sekadar tren lucu atau absurd di TikTok. Ia adalah cerminan dari bagaimana manusia, dalam era digital, semakin jauh dari dirinya sendiri. Tubuh bukan lagi rumah bagi ekspresi, tetapi ladang produksi konten. Dan dalam sistem yang mengutamakan atensi sebagai mata uang utama, manusia dengan sukarela menyerahkan kemanusiaannya untuk dilihat, dinilai, dan dihargai berdasarkan berapa banyak gift yang mereka hasilkan.
2.3 Simulacra dan HiperrealitasÂ
Fenomena NPC Live menggambarkan bagaimana dunia pascamodern telah kehilangan pegangan pada realitas konkret. Dalam pandangan Baudrillard, simulacra tidak lagi menjadi refleksi dari realitas, melainkan menjadi realitas itu sendiri. Karakter yang ditampilkan dalam NPC Live bukanlah perpanjangan dari diri kreator sebagai individu nyata, melainkan konstruksi simbolik yang diciptakan semata-mata untuk tampil dan dikonsumsi secara visual. Kreator menjadi tokoh tanpa latar, ekspresi tanpa emosi, suara tanpa makna, yang semua keberadaannya dikurasi agar cocok dengan ekspektasi algoritma dan selera pasar. Ini bukan lagi proses menjadi "seseorang", tapi proses menjadi "sesuatu".
Yang lebih mengkhawatirkan, hiperrealitas ini tidak hanya dikonsumsi, tapi juga ditiru. Banyak penonton, terutama anak muda, mulai menginternalisasi cara bicara, gaya berpakaian, atau ekspresi karakter NPC sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Fenomena ini menunjukkan bahwa representasi tersebut telah menggeser realitas psikologis dan sosial. Orang tidak hanya menonton NPC Live sebagai hiburan, tetapi juga sebagai referensi untuk membentuk identitas mereka sendiri. Identitas manusia pun tidak lagi dibentuk oleh pengalaman hidup dan interaksi sosial nyata, melainkan oleh fragmen-fragmen digital yang viral dan mudah ditiru.
Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan risiko desensitisasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ketika seseorang terbiasa melihat manusia sebagai karakter performatif yang aneh, lucu, atau bahkan absurd, maka ada kecenderungan untuk mengobjektifikasi orang lain secara serupa dalam kehidupan nyata. Empati tergantikan oleh rasa ingin tahu; relasi sosial tergantikan oleh tontonan. Hiperrealitas menghapus ruang kontemplasi dan mendistorsi persepsi akan apa yang nyata, penting, dan bermakna. Manusia tidak lagi hadir sebagai subjek yang mengalami, melainkan sebagai objek visual yang layak untuk di-like, di-gift, atau dilewati begitu saja.
Dengan demikian, NPC Live bukan hanya persoalan konten absurd yang viral, tetapi juga merupakan gejala dari krisis makna dalam masyarakat pasca modern. Ia adalah cermin yang memantulkan seberapa jauh manusia telah menjauh dari realitas eksistensialnya dan masuk ke dalam dunia tiruan yang estetis namun kosong. Sebuah dunia di mana menjadi lucu lebih penting daripada menjadi manusia.
2.4 Budaya Digital, Kapital Simbolik, dan ValidasiÂ
Kapital simbolik dalam konteks Bourdieu bukan hanya soal uang atau kekuasaan, tetapi lebih kepada "pengakuan sosial" yang memberi legitimasi terhadap status seseorang dalam struktur masyarakat. Di masa lalu, kapital simbolik bisa diperoleh melalui pendidikan tinggi, jabatan, atau kontribusi intelektual. Namun dalam konteks era digital, terutama di ranah platform seperti TikTok, kapital simbolik bergeser menjadi semacam "mata uang perhatian", yakni siapa yang paling terlihat, paling banyak ditonton, dan paling sering dibicarakan.
NPC Live menjadi bentuk baru dari perjuangan simbolik. Para kreator berlomba-lomba untuk menjadi unik, berbeda, atau ekstrem demi memancing atensi publik. Semakin aneh, semakin "nyeleneh", semakin tinggi peluang untuk viral. Gift yang diberikan oleh penonton bukan hanya soal materi, tapi juga simbol validasi: bahwa si kreator dianggap layak untuk ditonton, diperhatikan, bahkan dijadikan bahan hiburan. Dalam hal ini, kapital simbolik diperoleh melalui bentuk representasi tubuh dan perilaku yang tidak konvensional, bahkan cenderung absurd.
Budaya ini memunculkan tekanan sosial yang besar, terutama bagi generasi muda. Dorongan untuk terus terlihat menarik atau menghibur membuat banyak orang terjebak dalam performa yang berkelanjutan. Mereka merasa perlu terus tampil, terus mengikuti tren, dan terus memperbarui persona digital agar tetap relevan. Dalam jangka panjang, ini bisa menggerus harga diri dan martabat personal. Validasi yang semula diharapkan memberi kepuasan justru berubah menjadi candu yang melelahkan secara emosional dan psikologis.
Pada akhirnya, NPC Live menunjukkan wajah lain dari kapital simbolik dalam masyarakat digital, di mana martabat manusia tidak lagi ditentukan oleh kualitas nilai yang mereka pegang, melainkan oleh seberapa sering mereka tampil di layar. Dalam dunia yang semakin mengagungkan visibilitas, ketidakhadiran menjadi semacam "kematian sosial". Maka, meskipun tampil dalam bentuk yang merendahkan atau dianggap "tidak wajar", banyak orang tetap memilih untuk hadir secara digital demi memperoleh tempat dalam struktur simbolik masyarakat kontemporer.