Mohon tunggu...
Muhammad Figo Zulvan Nazmi
Muhammad Figo Zulvan Nazmi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa aktif yang menulis dari sudut pandangsosiologi untuk memahami dinamika masyarakat. Tertarik pada isu-isu sosial, budaya, dan perubahan zaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

NPC di Dunia Nyata: Budaya Digital, Representasi Tubuh, dan Krisis Makna Sosial dalam Fenomena NPC Live TikTok

7 Juli 2025   18:14 Diperbarui: 7 Juli 2025   18:14 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dramaturgi sosial versi digital ini juga mengaburkan batas antara kenyataan dan pertunjukan. Ketika seseorang secara konsisten memainkan karakter tertentu di depan kamera, maka lama-kelamaan batas antara persona dan diri asli bisa menghilang. Ini dapat berdampak pada kondisi psikologis, di mana individu kesulitan membedakan antara identitas performatif dengan identitas sejati.

Dalam konteks masyarakat yang semakin kompetitif dan haus validasi, NPC Live menjadi simbol dari krisis identitas kolektif. Alih-alih berusaha menjadi diri sendiri, banyak orang kini berlomba-lomba menjadi versi yang paling menarik perhatian, meskipun harus mengorbankan ekspresi diri, martabat, atau bahkan kenyamanan pribadi.

Terakhir, penting juga untuk melihat bagaimana panggung digital ini memperkuat logika kapitalisme digital. Setiap gerakan, suara, dan ekspresi kreator dapat dikonversi menjadi uang. Ini mengindikasikan bahwa tubuh manusia, dalam bentuk digitalnya, semakin diperlakukan sebagai alat produksi konten. Dalam kerangka ini, NPC Live bukan hanya tontonan hiburan, tetapi juga bagian dari industri performa digital yang tumbuh subur karena algoritma dan kebutuhan ekonomi kreator konten.

Singkatnya, melalui kacamata dramaturgi sosial Goffman, NPC Live di TikTok bukan sekadar fenomena viral, melainkan gambaran kompleks tentang bagaimana masyarakat digital kini memahami identitas, peran sosial, dan relasi antar manusia. Dunia maya telah menjadi panggung yang mengaburkan batas antara kenyataan, hiburan, dan kerja, di mana setiap individu bisa menjadi aktor, tetapi tak semua tahu kapan harus turun dari panggung.

2.2 Alienasi dan Representasi Tubuh 

Fenomena NPC Live dapat dilihat sebagai bentuk mutakhir dari keterasingan dalam era digital-kapitalisme. Jika dalam teori Marx alienasi terjadi karena buruh kehilangan kontrol atas proses produksi dan hasil kerja mereka, dalam hal ini buruh hanya menjadi bagian kecil dari rantai produksi yang tidak ia kuasai sepenuhnya, maka dalam NPC Live, yang terjadi adalah bentuk alienasi yang lebih subtil namun kompleks. Kreator konten sebenarnya terlihat memegang kendali penuh atas tubuh dan ekspresi mereka, namun faktanya, tindakan mereka sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma, tren, dan ekspektasi pasar digital. Mereka menjadi buruh bagi sistem platform media sosial, di mana nilai dari kerja mereka diukur berdasarkan jumlah gift, viewers, atau engagement semata.

Alienasi juga tampak dari cara tubuh manusia direduksi menjadi alat produksi. Dalam NPC Live, tubuh bukan lagi sekadar medium ekspresi diri, melainkan berubah menjadi komoditas yang harus tampil atraktif, unik, dan responsif agar menarik perhatian. Kreator NPC Live membentuk pola gerakan dan ucapan yang sangat spesifik, repetitif, dan di luar ekspresi emosional yang otentik. Mereka tersenyum, terkejut, atau mengucapkan "ice cream so good!" bukan karena merasa demikian, melainkan karena itu menjadi bagian dari "skrip kerja" mereka di dunia digital. Bahkan ketika kelelahan atau tidak nyaman, tuntutan untuk terus tampil demi cuan membuat mereka menekan ekspresi sebenarnya. Ini mencerminkan bentuk eksploitasi emosional yang sering kali tak kasatmata dalam dunia kerja digital.

Lebih jauh, representasi tubuh dalam NPC Live mengalami distorsi karena tuntutan performatif. Misalnya, suara dibuat menyerupai karakter kartun atau anak kecil, ekspresi wajah dibuat lebih dramatis dan teatrikal, serta pakaian dipilih sedemikian rupa agar memunculkan kesan lucu, aneh, atau sensual. Tubuh perempuan dalam beberapa konten NPC bahkan dieksploitasi melalui pakaian minim dan gestur erotis, untuk memenuhi fantasi visual audiens. Ini menandakan adanya objektifikasi, di mana tubuh, khususnya tubuh perempuan, tidak lagi dimiliki oleh individu sepenuhnya, melainkan diserahkan kepada tatapan publik sebagai sumber keuntungan.

Situasi ini sejalan dengan konsep "commodity fetishism" yang juga dikenalkan oleh Marx. Dalam fetisisme komoditas, hubungan manusia diputarbalikkan menjadi hubungan antara benda. Gift digital seperti ice cream, bunga, atau topi koboi menjadi pemicu utama perilaku kreator, sementara relasi sosial antara kreator dan audiens justru dimediasi oleh benda-benda virtual itu. Hal ini menciptakan jarak emosional yang semakin jauh antara manusia sebagai subjek dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Tak hanya itu, alienasi yang dialami para kreator juga berdampak pada identitas diri mereka. Ketika seseorang berulang kali memainkan peran tertentu demi popularitas dan uang, maka batas antara persona performatif dan diri asli menjadi kabur. Banyak kreator mengaku lelah secara mental, merasa tidak menjadi diri sendiri, bahkan tidak mampu lagi menikmati interaksi sosial secara otentik. Mereka terjebak dalam peran yang dibentuk oleh audiens, bukan oleh diri mereka sendiri. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu krisis identitas dan gangguan psikologis, terutama ketika popularitas menurun dan gift tidak lagi datang sebanyak sebelumnya.

Fenomena ini pun menunjukkan bagaimana kapitalisme digital menciptakan medan baru eksploitasi yang lebih halus tapi luas cakupannya. Eksploitasi tidak lagi terbatas pada tenaga kerja fisik, melainkan juga menjalar ke ranah psikologis, emosional, dan identitas diri. Kreativitas dipaksa tunduk pada algoritma. Ekspresi diri digantikan oleh skrip viral. Otonomi pribadi dikorbankan demi kelangsungan engagement. Semua ini menunjukkan bahwa keterasingan yang dibicarakan Marx tetap relevan hari ini, namun dalam wujud yang lebih canggih dan terselubung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun