Mohon tunggu...
Fidel Haman
Fidel Haman Mohon Tunggu... Guru - Guru/Bloger

Penikmat Seni Sastra dan Musik/Pemerhati Pendidikan - Budaya - Ekologi/Pencinta Filsafat - Teologi/Petualang - Loyal dan Berdedikasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Perempuan Serupa Ibu

6 November 2022   19:52 Diperbarui: 6 November 2022   23:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gambarkuterpopuler.blogspot.com

Sore itu....

Aku dan sahabatku duduk berdua untuk sore yang entah ke berapa. Pemuda yang dikenal misterius di mata keturunan hawa itu, mengajakku duduk bersama kembali. Aku menyebutnya saudara rohani, demikian pun sebaliknya ia menganggap ku demikian. 

Sebagai musafir dan perantau di kota maha sibuk ini, kami sering kali duduk di persimpangan jalan, untuk sekadar merenungi jejak-jejak yang lampau. Inilah ritus yang selalu terulang di kala raga terasa lelah dan hati terkulai lesu. Senja dan duduk bersama adalah obat mujarab untuk kembali semangat, walau untuk sekadar bercerita. Kopi sering kali menjadi teman setia dan sekaligus menjadikan senja menjelma nikmat sempurna. Sore ini kami mengulangnya kembali.

Seperti senja-senja yang lalu, demikian pun kali ini terjadi kembali. Sama tetapi tidak sama sekali sama saja. Hari ini agak lain dengan yang sebelumnya. Sahabatku hanya diam dan membisu. Ekspresi dan raut wajahnya menerangkan sesuatu yang tidak biasa. Ia terpenjara dalam rasa yang tak mampu diucapkannya.

 Aku yang di sampingnya tak dihiraukannya dan seolah tiada. Ia tertawan dalam rindu yang berat. Seperti jeruji besi dan tembok tebal penjara, rindu mengekangnya hingga tak bergerak. Lebih dalam lagi, rasa dan sadar pun seketika dimatikan. Ia hanya terperanga, memandang dengan penuh kekosongan.

Secangkir kopi aku hidangkan untuknya. Ia pun terbangun dengan sekali tegukan. "Rindu itu berat", kata si pemuda pencinta yang tulus itu. "Dan kopi-lah yang sering kali melarutkannya", katanya lagi setelah sekian tegukan membangunkannya dari lamunan.

Ia pun mulai bercerita tentang masa lalu yang penuh cinta. Tentang kisah sang ibu yang kelihatan suka marah tetapi menyimpan di dasar hatinya cinta seluas samudra. Mulutnya berbusa marah tetapi tangannya merengkuh dan mendekap penuh kehangatan. Ia pandai mencintai dalam segala situasi. Bahkan berani mencintai di saat orang lain bahkan anaknya menilai sikapnya jauh dari kasih sayang. 

Tidak ada rindu yang begitu dalam jikalau tidak ada cinta yang dalam serupa itu. Itulah makanya, seorang laki-laki sungguh tulus mencintai perempuan serupa ibunya.

Petojo Utara - Jakarta Pusat,
Minggu, 06 November 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun