Namun, di balik angka itu, tersembunyi tumpukan tunjangan yang membuat total pendapatan mereka melesat ke angka lebih dari Rp100 juta per bulan.Â
Tunjangan-tunjangan ini bagaikan bonus besar yang menutupi gaji utama yang kecil, termasuk tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta yang belakangan memantik keributan, bahkan memicu terjadinya unjuk rasa besar seperti yang berlangsung, Senin, 25 Agustus 2025, kemarin.
Jika gaji anggota parlemen Swedia yang sebesar Rp96 juta per bulan hanya dua kali lipat lebih sedikit dari gaji rata-rata pekerjanya, lalu bagaimana dengan Indonesia?Â
Tunjangan perumahan anggota DPR kita saja sudah hampir 10 kali lipat UMR tertinggi di Indonesia. Ini adalah jurang yang menganga lebar, sebuah ilustrasi nyata dari ketimpangan ekonomi dan sosial.
Ironisnya, besaran tunjangan yang fantastis ini tidak sebanding dengan kondisi ekonomi mayoritas rakyat yang diwakili.Â
Saat jutaan orang masih berjuang di bawah garis kemiskinan dan pengangguran, para wakil rakyat seolah hidup dalam dunia yang berbeda, di mana kemewahan menjadi hal yang lumrah.
Pengabdian vs Privilese, Perbandingan Dua Dunia
Ketika Per-Arne Hakansson berkata,Â
"Yang membuat kami istimewa hanyalah kesempatan untuk ikut menentukan kebijakan negara,"Â
Ia tidak sedang mengumbar retorika kosong. Ia menggambarkan sebuah etos kerja yang berlandaskan pengabdian. Di Swedia, fasilitas sederhana merupakan bagian dari wake up call bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab, bukan privilese.
Perbedaan perlakuan terhadap wakil rakyat ini semakin kontras jika kita melihat kondisi ekonomi kedua negara. Swedia adalah negara kaya dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi.Â
Menurut Badan Pusat Statistik Swedia (Statistics Sweden), pendapatan per kapita mereka pada 2024 mencapai US$54.916 atau sekitar Rp878 juta per tahun.Â
Dengan kata lain, mereka sudah sangat makmur, namun wakil rakyatnya memilih hidup sederhana.