"Tugas utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi."Â
Itu yang diucapkan oleh salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat seperti dikutip dari BBC.Com.
Kalimat itu terdengar begitu mulia, menggambarkan sosok wakil rakyat yang rendah hati dan berdedikasi. Sayangnya, ucapan tersebut bukanlah datang dari Senayan, melainkan dari Per-Arne Hakansson, anggota parlemen dari salah satu negara Nordic, Swedia.Â
Di sana, menjadi wakil rakyat memang diartikan sebagai pengabdian, bukan ajang mengumpulkan pundi-pundi.
Melansir dari BBC.com, kisah para legislator Swedia ini sungguh menjadi tamparan telak bagi nalar kita. Jangankan tunjangan perumahan fantastis yang jumlahnya puluhan juta, anggota dewan Swedia yang berasal dari luar Stockholm saja hanya difasilitasi apartemen studio berukuran 16 meter persegi.Â
Sebuah bilik sederhana tanpa mesin cuci atau pencuci piring, dan jika keluarga ingin ikut, mereka harus membayar setengah dari biaya sewa, yang uangnya masuk ke kas negara.Â
Aturan yang tegas ini mencerminkan satu prinsip: fasilitas negara hanya untuk tugas negara.
Urusan transportasi juga menjadi cerita tersendiri. Anggota parlemen Swedia tidak diberi mobil dinas atau tunjangan kendaraan. Mereka hanya diberi hak istimewa menggunakan transportasi umum secara gratis.Â
Mobil dinas hanya ada tiga unit untuk Ketua dan tiga wakilnya, dan penggunaannya pun terbatas hanya untuk kepentingan tugas parlemen.Â
Jangan harap bisa dipakai untuk mudik, kondangan, apalagi sekadar mengantar pulang. Aturan ini bukan sekadar efisiensi, tetapi juga simbol bahwa mereka tidak lebih dari warga negara biasa yang diberi tugas khusus.
Tunjangan Fantastis dan Jarak dengan Realitas
Di Indonesia, ceritanya berbalik 180 derajat. Mengutip sejumlah informasi yang saya dapatkan, gaji pokok anggota DPR-RI yang hanya sekitar Rp4,2 juta per bulan terdengar sederhana.Â
Namun, di balik angka itu, tersembunyi tumpukan tunjangan yang membuat total pendapatan mereka melesat ke angka lebih dari Rp100 juta per bulan.Â
Tunjangan-tunjangan ini bagaikan bonus besar yang menutupi gaji utama yang kecil, termasuk tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta yang belakangan memantik keributan, bahkan memicu terjadinya unjuk rasa besar seperti yang berlangsung, Senin, 25 Agustus 2025, kemarin.
Jika gaji anggota parlemen Swedia yang sebesar Rp96 juta per bulan hanya dua kali lipat lebih sedikit dari gaji rata-rata pekerjanya, lalu bagaimana dengan Indonesia?Â
Tunjangan perumahan anggota DPR kita saja sudah hampir 10 kali lipat UMR tertinggi di Indonesia. Ini adalah jurang yang menganga lebar, sebuah ilustrasi nyata dari ketimpangan ekonomi dan sosial.
Ironisnya, besaran tunjangan yang fantastis ini tidak sebanding dengan kondisi ekonomi mayoritas rakyat yang diwakili.Â
Saat jutaan orang masih berjuang di bawah garis kemiskinan dan pengangguran, para wakil rakyat seolah hidup dalam dunia yang berbeda, di mana kemewahan menjadi hal yang lumrah.
Pengabdian vs Privilese, Perbandingan Dua Dunia
Ketika Per-Arne Hakansson berkata,Â
"Yang membuat kami istimewa hanyalah kesempatan untuk ikut menentukan kebijakan negara,"Â
Ia tidak sedang mengumbar retorika kosong. Ia menggambarkan sebuah etos kerja yang berlandaskan pengabdian. Di Swedia, fasilitas sederhana merupakan bagian dari wake up call bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab, bukan privilese.
Perbedaan perlakuan terhadap wakil rakyat ini semakin kontras jika kita melihat kondisi ekonomi kedua negara. Swedia adalah negara kaya dengan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi.Â
Menurut Badan Pusat Statistik Swedia (Statistics Sweden), pendapatan per kapita mereka pada 2024 mencapai US$54.916 atau sekitar Rp878 juta per tahun.Â
Dengan kata lain, mereka sudah sangat makmur, namun wakil rakyatnya memilih hidup sederhana.
Sebaliknya, Indonesia masih tergolong negara berkembang. Data terbaru menunjukkan pendapatan per kapita Indonesia masih berada di bawah US$5.000 per tahun, jauh di bawah Swedia.Â
Rakyatnya masih berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan ironisnya, para wakilnya menikmati fasilitas dan tunjangan yang nilainya berkali-kali lipat pendapatan rata-rata rakyatnya.
Tindakan anggota parlemen Swedia bukan hanya tentang penghematan anggaran, tetapi juga tentang moral dan etika.Â
Mereka menunjukkan bahwa martabat dan kehormatan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa banyak uang atau fasilitas yang ia miliki, tetapi dari seberapa besar pengabdiannya kepada rakyat.
Mungkin sudah saatnya kita berkaca pada Swedia. Mereka membuktikan bahwa kehormatan menjadi wakil rakyat tidak diukur dari seberapa besar tunjangan yang diterima, tetapi dari seberapa dekat mereka hidup dengan realitas rakyat yang diwakili.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI