Padahal sebelum pandemi Covid-19 terjadi, laju pertumbuhan konsumsi berkisar antara 5,2 - 5,4 persen.
Perlambatan konsumsi juga terlihat dari penjualan eceran yang besarannya tak lebih dari 5 persen.
Data Bank Indonesia menunjukan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) secara tahunan (YoY) cenderung fluktuatif tak terlihat ada stabilitas, pada Januari 2025 hanya tumbuh sebesar 0,5 persen, Februari naik menjadi 2 persen, Maret dan April turun lagi menjadi 0,5 persen dan 0,3 persen.
Bulan Mei naik menjadi 2,6 persen dan Juni turun lagi menjadi 2 persen.
Data IPR tersebut menunjukan kontraksi pada sektor durable goods seperti pakaian jadi, elektronik, dan perlengkapan rumah tangga. Bahkan diskon-diskon besar-besaran di mal dan platform e-commerce sekalipun tak banyak menggerakan laju volume pembeliaan.
Tidak linearnya pendapatan masyarakat dengan tingkat kenaikan harga pangan juga berpengaruh besar terhadap melemahnya daya beli masyarakat.
Tapi apakah karena alasan-alasan tersebut, fenomena Rojali dan Rohana terjadi?
Saya kira sih tak an sich seperti itu juga, melemahnya daya beli masyarakat mungkin saja sedikit memberikan sumbangsihnya terhadap maraknya keberadaan para Rojali's dan Rohana's tersebut.
Tapi bukan itu faktor utamanya, di kota besar itu ruang publik yang aman, nyaman dan gratis merupakan barang langka, mal merupakan satu-satunya ruang publik yang menyediakan itu.
Mal menjadi semacam melting point bagi masyarakat berbagai kalangan untuk berinteraksi dengan biaya yang relatif terjangkau.
Masalah mencari alternatif tempat bertemu yang lebih efesien itu tak serta merta menunjukan melemahnya daya beli, karena pada dasar manusia cenderung lebih memilih sesuatu yang berongkos lebih murah, meskipun sebenarnya mereka mampu membayar lebih mahal.
Makanya fenomena para Rojali's dan Rohana's adalah hal biasa saja, dan sudah terjadi sejak lama.Â