Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Hilangnya "PKI" di Belakang G30S, dan Isu Keterlibatan Soekarno dan Soeharto dalam Peristiwa Itu

18 September 2020   13:20 Diperbarui: 18 September 2020   23:58 5629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya menulis artikel Dokumen Rahasia Amerika Serikat Menyebutkan Keterlibatan Soeharto Dalam Peristiwa G30S/PKI, Benarkah? Ada salah seorang Kompasianer yang cukup senior, Mbah Ukik yang mengingatkan saya bahwa istilah G30S/PKI, sudah tak seperti itu akronimnya, "setahu saya G30S" tulis Mbah Ukik dalam kolom komentar.

Jadi akronim salah satu peristiwa paling kelam yang terjadi di Indonesia itu, sudah tak menyertakan PKI lagi di belakang G30S. 

Saya kemudian meelakukan riset sederhana terkait hal ini melalui Google Search. Selidik punya selidik, ternyata benar yang diungkapkan Mbah Ukik tersebut.

Pasca memasuki Orde Reformasi, setelah tumbangnya Orde Baru istilah G30S/PKI, pemerintah Indonesia secara resmi tak lagi mencantumkan PKI di belakangnya.

Bahkan kurikulum pelajaran sejarah mulai tahun 2004 hingga kini, tak mencantumkan lagi /PKI di belakang G30S.

Mengapa demikian? 

Karena sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa pelaku G30S itu tidak tunggal, sebagaimana menurut versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang dibalik peristiwa kelam tersebut.

Menurut Sejarawan Universitas Indonesia, Asvi Warman Adam seperti yang saya kutip dari situs sejarah Historia.id. Soekarno menyebutkan ada 3 pihak yang terlibat dalam peristiwa G30S.

"Soekarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim, dan oknum yang tidak beranggungjawab. Jadi dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing." Kata Asvi.

Sebagai informasi tambahan, Pidato Nawaksara merupakan pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam menghadapi peristiwa G30S dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada Juni 1966.

Sejumlah penelitian lain menyebutkan setidaknya terdapat 5 versi tentang pelaku G30S, yakni PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Suharto, dan unsur asing terutama keterlibatan Amerika Serikat melalui dinas intelejennya Central Intelegence Agency (CIA).

Bagi sebagian orang yang pernah hidup dan bersekolah di jaman Orde Baru, PKI adalah satu-satunya dalang dalam peristiwa G30S, karena rezim Orba mendoktrin dengan begitu kuat kepada rakyatnya peristiwa G30S menurut versi mereka, melalui berbagai saluran, mulai dari kurikulum sejarah yang diajarkan mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dan berbagai narasi informal hingga film.

Versi rezim Orba ini, litelatur pertamanya di buat oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang berjudul "Tragedi Nasional  Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia"  yang dirilis tahun 1968.

Dalam buku ini narasi intinya menyebutkan bahwa PKI memiliki skenario untuk meng-komunis-kan Indonesia sudah sejak lama, yang kemudian dikaitkan juga dengan peristiwa PKI Madiun tahun 1948.

Selain itu, pemerintah Orba melalui Sekretariat Negara dan  Sejarah Nasional Indonesia menerbitkan Buku Putih  terkait peristiwa ini yang disunting oleh orang yang sama, Nugroho Notosusanto yang kemudian sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat Soeharto memerintah.

Buku putih ini lah yang menjadi acuan dari kurikulum pendidikan sejarah di seluruh sekolah di Indonesia hingga rezim Orba tumbang.

Oleh karena itu dalam versi Orba penamaan peristiwa G30S  harus disertai PKI dibelakangnya menjadi G30S/PKI.

Saking masifnya doktrin tersebut rezim Orba membuat film yang wajib ditonton seluruh masyarakat Indonesia yang digarap oleh Sutradara Arifin C. Noer bertajuk "Pengkhianatan G30S/PKI".

Pada masa itu setiap tanggal 30 September stasiun televisi wajib menyiarkan film yang acuannya bedasarkan buku yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh tersebut.

Padahal para pelaku peristiwa itu menyebutkan dalam pengumuman resminya sebagai Gerakan 30 September atau G30S tanpa embel-embel PKI dibelakangnya.

Sementara Soekarno, saat itu menyebut peristiwa berdarah ini, dengan sebutan Gerakan Satu Oktober atau Gestok.

Ia berpendapat, karena peristiwa penculikan dan pembunuhan para Jendral itu dilakukan lewat tengah malam 30 September, artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.

Jadi pada intinya penamaan G30S/PKI ini merupakan bagian dari propaganda Rezim Orba untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang pembunuhan para Jendral dan rangkaian peristiwa berdarah itu semata-mata karena ulah PKI.

Istilah inilah yang mengendap begitu dalam dipikiran seluruh masyarakat Indonesia. Penamaan seperti.itu seolah menutup munculnya sudut pandang lain dari peristiwa ini.

Kesimpulan yang kemudian dianggap gegabah karena diambil tanpa terlebih dahulu melewati proses penelitian dan penyelidikan yang seksama.

Padahal menurut esai yang ditulis oleh Sejarawan asal Cornell University  Benedict Anderson dan Ruth Mc Avey  yang bertajuk  "A Preliminary Analysis of The October 1,1965 Coup in Indonesia" atau lebih dikenal dengan sebutan The Cornell Paper yang dirilis tahun 1971. Peristiwa G30S tersebut merupakan puncak kekisruhan internal ditubuh Angkatan Darat saat itu. 

Sementara Harold Crouch sejarawan lain, dalam bukunya  "Army and Politics in Indonesia" menerangkan bahwa menjelang tahun 1965 Staf Umum Angkatan Darat pecah menjadi 2 faksi.

Keduanya memang sama-sama anti PKI namun berbeda sikap dan cara dalam menghadapi Presiden Soekarno.

Satu Faksi yang Crouch sebut sebagai faksi tengah dipimpin oleh Jendral Ahmad Yani, sangat loyal terhadap Presiden Soekarno, faksi ini hanya menentang Soekarno dalam hal persatuan nasional dengan memasukan unsur PKI di dalamnya.

Di sisi lain, faksi kedua yang disebut faksi kanan dengan tokoh Jendral AH. Nasution dan Jendral Soeharto memiliki sikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Soekarnoisme

Nah, peristiwa G30S ini yang berdalih menyelamatkan Soekarno dari kup yang dilakukan oleh Dewan Jendral sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama faksi tengah untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan faksi kanan Angkatan Darat.

Versi lain yang disebutkan sebagai dalang atau paling tidak terlibat dalam G30S adalah Soekarno. Menurut Asvi, Setidaknya ada 3 sumber tulisan yang menyebutkan keterlibatan Soekarno dalam peristiwa ini.

Ketiga buku tersebut menurut Asvi, mengarah pada de-Soekarnoisasi.

"Menjadikan Soekarno sebagai dalang peristiwa  30 September dan bertanggungjawab atas segala dampak kudeta berdarah tersebut"

Hal ini kemudian menyulut kemarahan dan protes keras dari keluarga besar Proklamator Kemerdekaan Indonesia tersebut, mereka menyebutnya sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Soekarno.

Untuk menyanggah tuduhan ini kemudian Yayasan Bung Karno menerbitkan buku "Soekarno Difitnah" yang memasukan catatan dari salah satu pelaku sejarah saat itu yang saat kejadian merupakan Wakil Komandan Resimen Tjakra Birawa, Maulwi Saelan.

Lantas bagaimana dengan versi lain yang menyebutkan keterlibatan Penguasa Orde Baru, Soeharto dalam peristiwa G30S ini?

Menurut Asvi, tulisan berjudul "Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto terlibat G30S" yang dirilis oleh Komandan Brigade Infantri I Jaya Sakti  Kodam V saat itu, Kolonel Abdul Latief yang juga merupakan salah satu pemimpin dalam peristiwa penculikan para Jendral dalam G30S.

Merupakan titik masuk bagi analisis "kudeta merangkak" yang dilakukan oleh Soeharto. Dalam pledoi tersebut Latief menulis bahwa  pada 28 September 1965, 2 hari sebelum operasi tersebut dilakukan, dirinya melaporkan rencana tersebut kepada Jendral Soeharto di kediamannya di Jalan Agus Salim.

Bahkan, ia sempat kembali mendatangi rumah Soeharto 4 jam sebelum operasi menggagalkan kudeta Dewan Jendral itu dilaksanakan pada dini hari 1 Oktober 1965.

Meskipun sudah diberi laporan terkait rencana itu,menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau berusaha mencegah operasi yang kemudian diketahui menewaskan 6 Jendral dan 1 orang perwira pertama Angkatan Darat tersebut.

Nah, fakta bahwa Soeharto pernah dilapori Kolonel Latief terkait rencana G30S  dan tidak melaporkannya lagi pada Jendral AH. Nasution sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dan Jemdral Ahmad Yani yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat  saat itu, menjadi kecurigaan banyak pihak, yang kemudian melahirkan analisa Kudeta Merangkak yang dilakukan oleh Soeharto.

Selain Pledoi  Latief ini, ada beberapa varian analisa lain yang ditulis oleh Saskia Wiengenge, Peter Dale Scott dan terakhir oleh Soebandrio terkait kudeta merangkak yang dituduhkan pada Soeharto.

Versi terakhir dari peristiwa G30S ini, menyebutkan bahwa dalangnya adalah Dinas Intelejen Amerika Serikat, CIA.

Saat terjadinya peristiwa tersebut kondisi geopolitik dunia  diselimuti perang dingin antara blok barat yang diwakili oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia dan blok Komunis yang dimotori Uni Sovyet dan Republik Rakyat China (RRC).

Amerika yang merupakan pentolan blok barat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik Indonesia agar tak jatuh ke tangan komunis saat itu.

Menurut, David T Johnson dalam bukunya "Indonesia 1965: The Role of US Embassy" ada sejumlah opsi yang akan dilakukan oleh AS dalam menghadapi situasi politik Indonesia saat itu.

Membiarkan saja, membujuk agar Soekarno beralih haluan, menyingkirkan Soekarno, mendorong Angkatan Darat merebut kekuasaan, dan terakhir merusak kekuatan PKI dan merancang penghancurannya sekaligus mendepak Soekarno dari panggung kekuasaan.

Akhirnya AS memilih opsi terakhir, keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S terlihat jelas seperti yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen rahasia kabel diplomatik  antara Kedubes AS di Indonesia dan pihak Washington yang kini sudah bisa dibaca publik.

Selain itu terdapat sejumlah sumber lain yang secara terang benderang mengungkapkan keterlibatan AS dalam peristiwa tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Peter Dale Scott, Profesor dari UCLA AS, dalam bukanya US and Overthrow of Soekarno 1975-1967.

CIA menjalin hubungan baik dengan perwira-perwira Angkatan Darat saat mereka bersekolah di Seskoad. Salah satu perwira binaan CIA itu ya Soeharto.

Selain itu pihak AD terutama Kostrad banyak dibantu AS dengan berbagai peralatan canggih termasuk perangkat komunikasi radio lapangan yang antena pemancarnya dipasang di halaman depan markas Kostrad.

Dari pemancar itu lah CIA memantau setiap pergerakan di Angkatan Darat hingga kemudian terjadi peristiwa G30S.

Memang hingga saat ini belum ada runutan sejarah yang pasti dan benar sesuai fakta-fakta di lapangan tentang peristiwa G30S itu.

Ke depan tugas pemerintah adalah melakukan riset secara mendalam terkait peristiwa ini agar anak cucu kita kelak mengetahui secara ajeg apa yang terjadi sebenarnya saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun