Satu kekuatan besar dari program ini adalah keterlibatan mahasiswa lintas disiplin ilmu: psikologi, komunikasi, manajemen, ekonomi pembangunan, hingga teknik informatika. Ini mencerminkan betapa masalah lingkungan bukan hanya soal teknologi, tapi juga komunikasi, ekonomi, perilaku, dan tata kelola.
Keterpaduan keilmuan ini memperkuat efektivitas pendekatan mereka, baik dalam menyampaikan informasi, membangun kesadaran, hingga mengarahkan tindakan nyata warga. Ini juga menjadi contoh bagaimana dunia pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya berada di menara gading, tetapi aktif turun tangan menyelesaikan persoalan riil masyarakat.
Kita tidak bisa terus membiarkan minyak jelantah mengalir begitu saja ke selokan, tanah, dan sungai kita. Di balik tetesannya, tersembunyi potensi besar: sebagai bahan bakar, pembersih, pewangi, bahkan pendongkrak ekonomi lokal. Namun semua itu hanya akan mungkin bila kita memiliki kesadaran kolektif untuk berubah mulai dari rumah sendiri.
Sudah saatnya media, pemerintah, dan lembaga pendidikan menggencarkan kampanye edukatif dan aksi konkret seperti yang dilakukan di Dusun Wonosari. Bayangkan jika tiap rumah tangga di Indonesia tidak lagi membuang minyak jelantah, melainkan menyimpannya untuk didaur ulang. Bayangkan jika tiap RT memiliki kelompok pengolah limbah sendiri. Indonesia tidak hanya akan lebih bersih, tetapi juga lebih mandiri dan berdaya.
Sebagaimana satu tetes minyak bisa menimbulkan noda, satu tetes kesadaran bisa menimbulkan perubahan. Mari menyulap jelantah jadi berkah dmi bumi yang lebih lestari, dan ekonomi yang lebih inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI